Mohon tunggu...
Kompasianer METTASIK
Kompasianer METTASIK Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis itu Asyik, Berbagi Kebahagiaan dengan Cara Unik

Metta, Karuna, Mudita, Upekkha

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pattica Samuppada, Hukum Sebab Musabab yang Saling Bergantungan

5 November 2023   05:55 Diperbarui: 5 November 2023   06:25 336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suatu hari, tanpa senagaja aku menonton sebuah konten Youtube. Tentang seekor monyet Bernama Kaka. Ia begitu lucu, menggemaskan, bermain-main dengan seorang bayi perempuan dari keluarga yang mengadopsinya. Kehidupan si monyet Kaka sangatlah menyenangkan, ia diperlakukan layaknya bayi dari orang yang memeliharanya. Semua kebutuhannya terpenuhi bahkan mungkin lebih.

Lain lagi dengan cerita dari monyet Zim. Dalam konten, ia selalu terlihat rakus. Tiada hentinya memasukkan makanan ke dalam mulutnya, walaupun pipinya sudah melembung. Aku sampai curiga, jangan-jangan monyet ini hanya diberi makan untuk keperluan konten saja. Sengaja dibuat lapar untuk dieksploitasi. Walaupun begitu, penampilannya selalu ceria setiap kali hadir bersama pemiliknya.

Selain si Kaka dan Zim, ada lagi konten tentang Yaya yang sering mengibas-ibaskan jemari tangannya sambil menyeringai. Sekilas, kelakuannya mengingatkanku saat aku masih duduk di bangku SD. Aku sering mengibas-ngibaskan tanganku untuk mengurangi rasa nyeri akibat punggung tanganku yang dipukul karena lupa gunting kuku. Apakah ia juga seperti itu? Entahlah.

Napas ini terasa semakin sesak setelah melihat sebuah channel lainnya yang  menampilkan empat ekor monyet lainnya yang dibully. Keempat makhluk malang itu disuruh berdiri berjajar, makanan ditaruh di hadapan mereka, tapi mereka dilarang untuk menyentuhnya. Aku bisa melihat mata monyet-monyet itu memancarkan kekosongan, ketakutan,  kesedihan yang memelas. Walaupun badan mereka dibungkus dengan pakaian lucu, tetapi itu tidak dapat menyembunyikan tubuh kurus di dalamnya.

Dan yang paling mengenaskan lagi adalah sebuah konten yang mempertontonkan induk monyet yang mengabaikan bayinya. Bukan hanya tidak peduli, tetapi terkadang ia bisa juga dengan ganas menyerang anak-anaknya sendiri. Ditapol, dicekik, bahkan dilempar, alih-alih disusui.

Betapa menyedihkan kehidupan seperti itu. Terlahir sebagai binatang saja sudah merupakan karma buruk apalagi kalau disertai dengan kekejaman-kekejaman yang diterimanya, baik secara alami ataupun karena ulah manusia. Mereka tidak dapat membela diri, hanya pasrah menerima karma buruk yang telah masak. Karma tercipta dari hasil perbuatan sendiri, ada sebab musababnya. Dan, semua itu terjadi bukan hanya di kehidupan Binatang, tapi hampir di kehidupan semua mahluk. Termasuk manusia. Semuanya saling berkaitan.

Lobba, dosa dan moha saling mendukung dalam menciptakan karma buruk dalam siklus kehidupan.

Di dalam ajaran Buddha, Hukum Sebab Akibat yang Saling Bergantungan ini disebut Paticca Samupadda yang secara sederhana dapat dijabarkan sebagai berikut :

"Dengan adanya ini, maka terjadilah itu. Tanpa ada ini tidak akan terjadi itu."

Terlihat sederhana, tapi sebenarnya sangat mendalam dan perlu "KESADARAN " di setiap waktu untuk menjaga pikiran, perkataan, dan perbuatan. Semuanya dilakukan agar Hukum Sebab Akibat itu tidak menjerumuskan kita ke lembah empat alam sengsara, yaitu alam neraka, alam binatang, alam peta dan alam jin.

Makhluk-makhluk yang terjerumus ke dalamnya tidak dapat berbuat kebajikan sendiri. Mereka harus menunggu pelimpahan jasa dari kita para manusia. Oleh sebab itu, terlahir sebagai manusia membutuhkan timbunan karma baik yang luar biasa banyaknya. Jadi, janganlah sia-siakan kesempatan dalam hidup ini untuk selalu dan selalu berbuat baik.

Paticca Samupadda merupakan ajaran tentang proses kelahiran dan kematian, juga mengurai tentang sebab musabab tumimbal lahir yang dapat menembus dimensi waktu. Di sini aku akan membagikan sekelumit kisah hidupku yang kalau dipikir aneh tapi nyata.

Begini ceritanya.

Sekitar tahun 1980 sampai 1990 keadaan kota Jakarta dapat dikatakan masih sangat-sangatlah aman. Jarang ada berita tentang penodongan dan penjambretan. Meskipun demikian, aku tiga kali mengalami penodongan di mikrolet saat pergi ke kantor. Sebagai cewek yang rada-rada tomboy aku tidak terlalu menyukai perhiasan. Ditambah lagi, big-bossku sering mewanti-wanti bawahannya untuk tidak memakai perhiasan yang berlebihan.

Pertama kali aku kena todong, uang sebesar sepuluh ribu rupiah atau setara dengan tujuh puluh lima ribu rupiah sekarang melayang. Saat itu aku tidak merasa panik atau takut walaupun pisau dilekatkan ke pinggangku. Tidak ada "kerugian" yang benar-benar aku alami, baik secara fisik maupun materil. Itu karena atas kejadian itu, bosku yang baik hati setuju untuk memberikanku kompensasi atas kemalanganku.

Kali kedua aku mengalami penodongan, uang yang hilang agak banyak. Selain uang pribadi, juga uang kantor sebesar lima belas ribu rupiah. Saat itu duit perusahaan aku bawa untuk membeli kebutuhan kantor di sebuah supermarket.

Seharusnya, pada hari itu aku langsung melaksanakan tugasku. Tapi, karena hari sudah menjelang petang, aku memutuskan untuk berbelanja pada keesokan harinya saja. Alhasil, kemalangan pun kudapat dalam perjalanan pulang ke rumah. Dan, sebagaimana kejadian pertama, aku masih bisa tenang menghadapinya. Pisau di pinggang tidak membuatku gemetar. Dan, perusahaan tidak menyalahkan diriku atas kejadian itu.  

Ada Dutiyampi (kali kedua), eh... belum lengkap rasanya kalau belum Tatiyampi (kali ketiga).

Penodongan yang terakhir dilakukan oleh empat orang.

Entah mengapa pada hari itu, nyawaku serasa hilang separuh. Sesaat setelah mikrolet menurunkan ibu-ibu dan beberapa anak sekolah, aku baru sadar jika sisa diriku dan tiga orang pria berwajah sangar di dalam kendaraan itu.

Salah satu pria yang duduk di sampingku mulai mencolek-colek lututku. Kusangka ia ingin melecehkanku, hingga aku membentaknya. Pada saat itu, aku baru sadar jika mereka adalah gerombolan perampok. Seorang pria lainnya yang duduk di depanku menodongku dengan belati yang terhunus. Sementara dua kawannya sudah mengobok-obok isi tas dan dompetku. Aku hanya bisa memohon agar mereka tidak mengambil KTP-ku.

Setelah puas menguras isi tas, cincin berlian di tangan pun tidak lepas dari incaran para perampok itu. Hasil dari tabunganku selama delapan tahun bekerja lenyaplah sudah. Untungnya bukan tanganku, karena gerombolan itu sempat kehilangan kesabaran saat aku kesulitan mengeluarkan cincin itu dari jari manisku.

Berbeda dengan kejadian pertama dan kedua, kali ini rasa takut benar-benar aku rasakan. Untungnya, drama itu segera berakhir. Setelah mengambil uang dan cincin, ketiga pria beringas itu langsung turun dan kabur melalui gang-gang sempit, meninggalkan diriku yang hanya bisa marah-marah kepada si supir mikrolet yang tidak membantuku tadi.

Sesampainya di kantor aku terduduk lemas. Seisi kantor heboh melihat kondisiku yang pucat pasi, syok, dan hampir pingsan. Ini belum termasuk rasa sakit di hati karena kehilangan cincin berlian kesayanganku.

Dan, kali ini aku tidak mendapat penggantian barang sepeserpun. Mungkin bos-ku menganggap jika aku berbohong. Itu isu yang kudengar. Ah, betapa malangnya nasibku saat itu.  

Setelah kejadian itu, aku menjadi trauma naik kendaraan umum. Sampai sekarang, meskipun kejadian itu sudah berselang 30 tahun. Namun, di balik kesialan itu lagi-lagi karma baikku berbuah. Aku mendapat fasilitas mobil Perusahaan yang masih kubawa sampai sekarang.

Lalu apa sih hubungannya ceritaku diatas dengan Pattica Samupadda yang kukatakan bisa menembus ruang waktu?

Begini, aku ditodong sampai tiga kali berturut-turut padahal aku tidak memakai perhiasan berlebih yang dapat membuatku menjadi sasaran tukang todong. Ditambah lagi jalur yang kutempuh sama dengan jalur yang ditempuh oleh adikku yang lebih senang memakai perhiasan komplit, dan sering pula pulang malam. Terkadang lagi, mikrolet yang ditumpanginya sering juga ngetem di daerah terkenal rawan, tapi dia aman-aman saja.

Malah dia sering menggodaku, agar tidak berteman dengan tukang todong.

Kehilangan cincin menimbulkan kekesalan dan penyesalan yang berkelanjutan. Kadar Dhamma-ku masih tipis untuk membuatku menerima nasib buruk yang menimpaku. Aku mulai berpikiran macam-macam. Dari menyesal mengapa harus aku, hingga menghubungkannya dengan ganjaran pada saat membeli cincin itu. Perlu diketahui, cincin itu aku beli dengan harga murah dari seorang Wanita yang sedang butuh uang untuk pengobatan suaminya.

Aku menyesal telah berlaku kejam, tetapi di sisi lain akupun belum bisa, tidak rela kehilangan, aku belum memahami arti melepas. Aku benar-benar butuh pencerahan!!!

Namun, sekarang sudah berbeda.

Sebenarnya kalau kita jeli, hukum Patticca Samupadda sering kita alami dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu contoh yang sering kualami adalah, Di saat ada niat untuk berdana, tapi ternyata keuanganku sedang defisit, mau tidak mau niat itu kulupakan. Akan tetapi, pada detik-detik terakhir selalu ada aja jalan untuk mewujudkannya, ini benar-benar ajaib.

Dengan merenungkan hukum Patticca Samuppada aku menjadi lebih mengerti Dhamma dan sedikit demi sedikit dapat mengikis kilesa di dalam batinku. Benar, aku masih suka menyesali apa yang hilang, namun aku belajar iklas melepasnya.

Termasuk melenyapkan rasa iri dan dengki dari hati kita, dan mengisinya dengan cinta kasih. Hukum Patticca Samuppada akan bekerja dengan sendirinya membuahkan karma baik untuk diri kita sendiri.  

Salah satu bait Paritta Karaniya Metta Sutta berbunyi: Jangan karena marah dan benci kita mengharap orang lain celaka.

Jadi, jangan mencubit kalau tidak mau dicubit. Sedikit demi sedikit kita harus memutuskan nafsu kesinginan kita agar terbebas dari kelahiran Kembali.

Semoga semua mahkluk hidup berbahagia

**

Jakarta, 05 November 2023
Penulis: Sumana Devi, Kompasianer Mettasik

Hidup Harus Penuh Sati, Setiap Saat Diamati

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun