"Sungguh tak kusangka bahwa anugerah terbesar dalam hidup ini kudapatkan justru melalui sesuatu yang tidak kuinginkan," kataku sewaktu bertemu Lily, teman SMA, di acara reuni ke 30 tahun kami di aula hotel bintang empat di kota kami.
"Kok bisa begitu, Nia?" tanyanya heran.
"Mau dengar ceritaku? Tapi jangan sampai ketiduran ya, hahaha ...," ujarku berseloroh.
"Beres, bos," ujarnya," asal kamu tahan bicara berapa jam, aku akan mencoba bertahan mendengarkan ceritamu."
"Baiklah. Cerita kuawali dari lahirnya seorang putri yang diberi nama Tania dari sebuah keluarga yang sederhana namun bahagia karena orang tuaku melimpahkan kasih sayang mereka kepada kelima anaknya. Memang istana kami kecil dan di jalan yang sempit, namun kehangatan sebuah keluarga terasa sekali karena kami saling menyayangi, serta kebutuhan sandang pangan terpenuhi," celotehku.
"Perasaan jadi seorang putri, hahaha ...," selanya.
Memang kami tidak bertemu sejak tamat  SMA dan tidak pernah kuceritakan masalah keluargaku kepadanya.
"Tahun ke masa berganti," lanjutku," usaha ayahku mengalami kebangkrutan sedangkan ibuku hanya seorang ibu rumah tangga. Mau tidak mau, sebagai anak sulung aku harus berusaha menggantikan tugas ayah sebagai pencari nafkah bagi keluarga. Kebetulan aku juga baru berhasil menyelesaikan kuliah di UMI (Universitas Methodist Indonesia) jurusan Sastra Inggris, maka kuberanikan diri melamar sebagai guru di sekolah tempat kita menimba ilmu selama ini. Dan bersyukur sekali aku diterima sebagai guru di tingkat SD."
"Setelah dua tahun mengajar di SD, aku dipromosikan ke tingkat SMP dan SMA. Betapa senangnya hatiku seperti seorang siswa yang berhasil naik kelas di akhir tahun pelajaran, hahaha ...."
"Ayo cari kudapan dulu! Perutku sudah berbunyi," ujarku sambal tertawa. Sambil makan sepotong timun kulanjutkan ceritaku.
"Teringat masa mudaku dulu. Waktuku lebih banyak kuhabiskan dengan bekerja mati-matian, dari pagi hingga malam. Dengan semangat 45, mengajar les Bahasa Inggris dari rumah siswa yang satu ke rumah siswa yang lain setelah selesai mengajar di sekolah."
"Ada buku catatan khusus yang kugunakan untuk mencatat jadwal mengajarku setiap hari dan jika catatan tersebut bertambah satu nama atau lebih, aku semakin senang karena berarti uang yang masuk bertambah. Mungkin karena kondisi keuangan keluarga kami kurang bagus pada waktu itu dan adik-adikku masih kecil, masih belum mandiri, maka pada masa itu aku bekerja bagaikan wanita perkasa atau yang lebih terkenal sebagai bionic woman. Wow, keren!"
"Hidup terus berubah dan roda kehidupan terus berputar. Setelah masa-masa sulit berlalu, datanglah masa bahagia di mana adik-adikku sudah mampu berdiri sendiri. Namun kulupa bahwa usiaku terus bertambah dan aku belum menemukan pasangan hidup hingga usia gocap.
"Sebenarnya aku tidak menyesal menjadi jomlo karena aku memang lebih suka hidup sendiri, bebas dan tanpa beban. Uang hasil kerja kerasku selama 30 tahun sebagai guru kugunakan sebagian untuk menikmati makanan dan minuman yang lezat, memanjakan diri dengan menonton film di bioskop sekali seminggu, mengopi dengan teman-teman, jalan-jalan ke luar kota, dan lain-lain, lupa bahwa waktu terus berlalu tanpa mengerjakan sesuatu yang berarti hingga suatu pagi bagian leherku, pas di bawah telinga kiri, membengkak. Ada apa ini? Dan setelah dibiopsi, ternyata aku menderita penyakit kanker nasofaring."
"Aduh, sungguh malang nasibmu, Nia," kata Lily.
"Tetapi justru dari penyakit kanker nasofaring yang menakutkan ini, Li, aku mendapatkan berkah terbesar dalam hidupku. Penyakit ini menyadarkanku bahwa hidup ini hanya sementara dan selagi kita masih diberi kesempatan untuk hidup, maka pergunakanlah kesempatan emas tersebut untuk berbuat kebajikan, baik melalui pikiran, ucapan, maupun perbuatan, sebagai bekal kita untuk menghadapi kematian yang pasti datang menyapa, cepat atau lambat," ujarku menyudahi ceritaku.
"Terharu aku mendengar ceritamu, Nia. Semoga kamu diberi kesempatan hidup yang lebih lama untuk terus berbuat kebajikan hingga akhir hayatmu. Dan terima kasih, sahabatku, karena kamu telah berbagi kisah nyatamu yang menyadarkanku bahwa aku juga harus segera berbenah diri untuk berbuat kebajikan," katanya sambil memelukku dengan penuh perasaan.
Selain berkah yang kudapat, masih banyak hal lain yang kuraih, di antaranya kesabaran tingkat tinggi yang harus kupertahankan dari waktu ke waktu guna menghadapi penyakit yang kuderita ini. Bayangkan saja bagaimana rasanya ketika kita harus menjalani pengobatan kemoterapi sebanyak 6 kali dan radioterapi sebanyak 33 kali. Ampun deh!
Terbukalah kesempatan untuk berlatih jurus kesabaran tingkat tinggi karena setiap hari harus sabar untuk menunggu giliran di rumah sakit bersama puluhan pasien kanker yang lain demi kesembuhan karena alat radioterapi yang tersedia hanya ada dua. Demikian juga dengan bagian kemoterapi yang ruangannya cuma satu dengan beberapa tempat tidur dan sofa yang tersedia.
Namun aku berusaha melalui hari demi hari dengan bersyukur bahwa aku masih diberi kesempatan untuk hidup. Â Dan perjuanganku tidak sia-sia. Â Akhirnya aku berhasil lulus dari latihan kesabaran ini.
Kesabaran sangat dibutuhkan dalam hidup ini, terutama dalam menghadapi badai kehidupan yang menerpa tanpa aba-aba.
Ayo tunjukkan kesabaranmu kepada dunia!
**
Medan, 14 Oktober 2023
Penulis: Tania Salim, Kompasianer Mettasik
Be Grateful! Be Happy! Be Strong!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H