Menurut bidan yang menangani persalinan ibuku, aku ini kembar darah. Baru pada minggu berikutnya aku benar-benar hadir di alam semesta ini. Tak terbayangkan betapa menderitanya ibuku.
Setelah ibu penghormatan tertinggi barulah kuberikan kepada Ayahku. Ia begitu menyanyangiku sampai akhir hayat hidupnya. Bahkan dua hari sebelum beliau wafat, ia masih sempat menyediakan air mandi hangat untukku. Walaupun aku sudah sering menolaknya, tapi itulah yang selalu dikerjaan ayahku di saat cuaca dingin hari hujan.
Aku melarangnya karena takut beliau terpeleset dan tersiram air panas, maklum saat itu kami belum memiliki water heater. Terlebih lagi saat itu usiaku hampir 30, sudah bukan lagi balita yang harus dilayani.
Selesai mandi, sarapan sudah tersedia dimeja. Setiap sore ayahku selalu menungguku pulang kantor untuk makan bersama, ayahku juga suka menggodaku, beliau senang membuatku merajuk ya ... begitulah ayahku memanjakanku dengan segala caranya sendiri.
Kedua orang tuaku sangatlah patut mendapatkan penghormatan tertinggi. Bagiku beliau berdua adalah malaikat-malaikat pelindungku. Aku bahagia terlahir sebagai anak mereka. Walaupun beliau berdua telah lama tiada namun beliau tetap hidup di dalam hatiku.
Terima kasih Ibu, terima kasih Ayah yang telah memberikan kesempatan kepadaku untuk berkelana di dalam dunia ini. Tak terhingga jasamu kepadaku sehingga aku berhasil terlahir sebagai manusia.
Sebagai bentuk balas budiku, aku berusaha untuk selalu menjaga nama baik beliau, mengembangkan kebajikan-kebajikan yang beliau teladani, melimpahkan jasa-jasa perbuatan baikku kepada beliau berdua agar mereka tidak menyesal telah mengandung, melahirkan serta membesarkanku. Dan, secara tidak langsung engkau menghantarkanku untuk mematangkan benih-benih karma baik yang kutanam dikehidupan yang lalu.
Sabbe Satta Bhavantu Sukkhitata -- Semoga Semua Makhluk Hidup Berbahagia.
**
Jakarta, 20 September 2023
Penulis: Sumana Devi, Kompasianer Mettasik
Hidup Harus Penuh Sati, Setiap Saat Diamati