Ade: "Mami, apakah kita kaya?"
Mami: "Ade kaya atau tidak tergantung dari segi apa dalam menilainya dan sudut pandang sendiri. Menurut Mami, Ade sangat kaya jika dibanding dengan orang yang tidak punya kaki alias cacat. Tapi, orang cacat pun lebih kaya daripada orang normal yang tidak menghargai kehidupan mereka. Jadi apakah Ade kaya?"
Ade: "Hmmmm.... Jadi Ade di tengah-tengah. Sama halnya dengan kepintaran, Ade itu pintar dikalangan bodoh dan bodoh dikalangan pintar. Hahaha."
Mami: "Kenyataan memang di atas langit ada langit lagi, jadi susah buat dibandingkan. Saat kita menangis karena tidak ada sepatu, lihatlah orang yang tidak punya kaki. Bukankah yang tidak ada sepatu lebih kaya daripada yang tidak punya kaki?"
Ade: "Dan saat tidak punya kaki tetap bersyukur setidaknya tidak butuh sepatu. Jadi bisa simpan uangnya buat keperluan yang lain. Benarkan?
Mami: ".... Betul, itulah yang namanya sudut pandang. Kita akan selalu bahagia jika bisa mengubah sudut pandang kita. Demikian juga kaya atau tidak tergantung sudut pandang. Kita hidup dalam dunia yang suka membandingkan satu dengan yang lainnya. Dan karenanya penilaian luar menjadi begitu penting bagi kita.
"Saat melihat media sosial, banyak yang pamer kekayaan dan kita menjadi minder, tetapi apakah Ade yakin mereka lebih kaya dan lebih bahagia daripada kita?"
"Ada sebuah kisah tentang seorang istri yang sangat suka memasak. Setiap hari dia memasak buat suami tercintanya. Sang suami jarang memujinya malah suka mengkritik masakannya."
"Apakah benar masakan sang istri tidak enak? Keseringan sang istri melakukan sesuatu untuk suaminya, maka suaminya menjadi terbiasa. Â Dan di sini mungkin mereka kurang komunikasi."
Ade: "Sang istri jelas bukan Mami, sebab Mami tidak suka memasak. Hehehe."
Mami: "Jelas. Ini kan perumpamaan dan sang suami mungkin si Ade yang tidak menghargai masakan istri. Hahaha...."
"Sang istri lelah dan stres dikritik terus, akhirnya mencoba memamerkan hasil masakannya di media sosial. Ternyata ada yang suka sama makanannya dan suka memuji masakannya meski baru menilai dari gambar saja."
"Sang istri menjadi lebih baik? Tentu saja tidak. Semuanya membuat sang istri bertambah ambigu. Menilai dari sampul apakah benar? Antara suaminya dan teman-teman onlinenya, penilaian siapakah yang benar?"
"Sang istri  adalah seorang yang bijak dan selalu ber-vipassana. Hasilnya dia menyadari satu hal,
"Yang salah bukan objek luar tapi batinnya." Mengapa penilaian luar menjadi begitu penting baginya?"
"Akhirnya sang istri mengambil sikap, lebih baik mulai sekarang fokus sama batin dan masakannya, bukan fokus pada penilaian luar. Dan yang  terpenting proses selama memasak, dia menikmatinya. Tidak peduli masakannya asin, manis, asam, ataupun pahit, dia akan menikmati prosesnya."
"Kita sering menuntut keluar dan lupa melihat ke dalam. Penilaian luar begitu penting bagi kita. Apakah semua ini perlu?"
"Demikian halnya dengan memamerkan barang-barang mewah dan gaya hidup kita di media sosial, apakah hal ini perlu?"
"Marilah mulai belajar banyak-banyak melihat ke dalam batin! Bukan membandingkan keluar."
"Apakah Ade mengerti?"
Ade: "Zzzzzz..."
**
Jakarta, 18 September 2023
Penulis: Lisa Tunas, Kompasianer Mettasik
A Loving Mom Who Learns Writing
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H