Mohon tunggu...
Kompasianer METTASIK
Kompasianer METTASIK Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis itu Asyik, Berbagi Kebahagiaan dengan Cara Unik

Metta, Karuna, Mudita, Upekkha

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Setidaknya Jalan Ini Mulai Terlihat, Dunia Tempatmu Berlatih

25 Juli 2023   05:55 Diperbarui: 25 Juli 2023   06:11 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar: pexels.com, diolah pribadi

Beberapa tahun yang lalu, aku pernah berada di sebuah hotel kecil di sebuah kota. Hari itu merupakan hari 'free' ku setelah mengikuti sebuah retret. Aku memiliki satu hari untuk diriku sendiri terlepas dari agendaku mengikuti retret di kota itu. Kupakai waktuku dengan santai beristirahat dan membeli oleh-oleh untuk keluarga.

Saat makan pagi di hotel, aku memesan beberapa menu sarapan. Sambil menunggu makananku datang, mataku menatap ke sekeliling. Ah, ada beberapa turis asing tamu hotel yang juga sarapan. Selesai sarapan, aku kembali ke kamarku untuk bersiap-siap.

Agak berbeda dari hotel lainnya, tiap kamar di hotel ini memiliki toilet di luar kamar. Masing-masing kamar mendapatkan 1 toilet sendiri. Seluruh toilet ditempatkan di 1 area tersendiri di seberang kamar hotel. Aku dan tamu hotel lainnya memiliki kunci toilet kami masing-masing. Setelah aku bersiap-siap, sejenak aku menuju ke toilet 'pribadi'ku yang berada di luar.

Keluar dari toilet, aku bertemu dengan seorang wanita. Kuingat wajahnya. Turis asing yang tadi sarapan juga. Ia menatapku lalu berkata dengan bahasa asing yang juga kumengerti, "Boleh saya pakai toiletmu?"

"Oh, iya. Boleh saja," jawabku. Iapun segera masuk ke dalam toilet'ku'.

Ada keraguan di hatiku. Apalagi ternyata kudapati ia memakai toiletku untuk mandi. Seingatku, ia tidak membawa handuk  dan lainnya. Ada lagi keanehan lainnya. Ia tidak berhenti bicara sendiri terus menerus. Dengan pakaian setengah basah, ia keluar dari toilet. Ia masih berusaha mengeluarkan air dari rambutnya yang masih sangat basah. Ia tampak sedikit terkejut, saat menemukan aku masih berada di sana.

"Terima kasih", ia berujar dalam bahasanya. "Terima kasih kembali", jawabku.

"Boleh kupinjam hair dryer?"

"Aku tak punya, tapi aku punya handuk hotel. Kupinjamkan ya..."

Ia mengangguk. Segera kuambilkan handuk hotel dari kamarku dan kuberikan kepadanya. Sambil bergerak mengeringkan tubuh dan rambutnya, ia bercerita tentang kehidupannya secara umum. Kehidupan yang menyenangkan kedengarannya. Seperti kehidupan yang kuimpikan, penuh warna-warni. Aku hanya mendengarkan sambil bertanya padanya sesekali.

Di balik semua yang ia ceritakan, aku merasa ia 'menyimpan' banyak hal di dalam dirinya. Aku merasakan ada jejaring derita dalam dirinya. Tak lama, ia berhenti bercerita. Kukatakan padanya, "Boleh aku memelukmu?" Dalam diamnya, ia menatapku. Ia menganggukkan kepalanya.

Kupeluk ia lembut. Dalam pelukan itu, terdengar nafasnya terengah-engah. Agak lama. Nafasnya kemudian melambat dan menjadi lebih halus. Kulepaskan perlahan dan kukatakan padanya,"Please, take care". Lalu ia mengangguk dan ia mengucapkan terima kasih.

Aku tak melihatnya lagi. Yang kutahu, ia bukanlah tamu hotel karena ia sempat bertanya berapa biaya menginap di hotel itu. Sedikit janggal, karena ia termasuk turis yang kulihat sarapan di hotelku. Hotel tempatku menginap merupakan hotel yang hanya menyediakan sarapan untuk tamu hotel saja. Memang tempat kami sarapan berada di ruang terbuka di lantai 2. Terdapat tangga dari bawah yang dapat langsung menuju ruang terbuka itu.

Kubiarkan semua pikiran itu dan memang aku tak mau melanjutkannya. Aku bersiap-siap kembali untuk melakukan beberapa hal yang telah kurencanakan sebelumnya. Hari itu, aku pergi mengunjungi rumah mendiang sahabat baikku yang saat itu terkena kanker paru-paru stadium 4. Pulang dari sana, aku pergi ke pusat oleh-oleh membeli beberapa pesanan keluargaku. Esok harinya, aku berangkat kembali ke Jakarta bertemu keluargaku.

Pengalamanku beberapa tahun yang lalu membuatku belajar untuk tidak menilai orang. Mengajarkanku pula untuk memahami jejaring derita yang dimiliki tiap orang. Namun hari ini, saat aku menuliskan kisah ini, aku lebih memahami pelajaran tersebut. Aku mulai mampu menerapkannya pada diriku.

Tidak menilai dan menghakimi orang lain demikian pula dirimu sendiri. Jangan pula membandingkan dirimu dengan siapapun. Tidak ada orang yang sama kehidupannya sejak lahir. Guruku, Guruji Gede Prama selalu memberikan nasehat tersebut. Namun aku tak pernah dapat menerapkannya sebelumnya.

Aku terus bergulat dalam anxiety-ku, yang sesungguhnya penuh dengan lubang penolakan diri. Aku baru saja melalui masa-masa, dimana aku harus berhadapan dengan rasa takutku menjadi diriku apa adanya. Sangat tidak mudah namun aku menjadi lebih tenang dan bahagia.

Kuukir untaian kata di bawah tentang apa yang kini kupahami. Bukan hanya dari kisah yang telah kuceritakan tadi. Banyak hal yang telah terjadi. Salah dan benar telah kulalui. Semua itu membawaku pada pemahaman bahwa seyogyanya hidup adalah cinta, pengorbanan, kasih dan welas asih. Setidaknya, jalan ini mulai terlihat. Apa yang ada di saat ini, kuterima dan kujalani berbekal pemahaman yang telah kudapati.

Aku mengerti...
Apa yang mengalir dari dirimu
Akan kembali kepadamu

Apa yang engkau pikirkan, ucapkan dan lakukan
Itulah dirimu
Itulah yang akan menjadi milikmu lagi

Dunia ini samudera kasih
Dunia ini cermin batin
Dunia ini tempatmu berlatih

Sesuaikan keinginan dengan kemampuan
Tak ada yang kekal dalam hidup ini
Semua terus berubah

Begitu pula 'diri' mu dan mereka
Bukan masalah benar dan salah
Namun engkau bertanggung jawab pada apa yang engkau perbuat

Tiap orang punya kehidupan masing-masing
Biarkan mereka berproses pula
Seperti engkaupun berproses

Teruslah berlatih...

**

Jakarta, 25 Juli 2023
Penulis: W Rny, Kompasianer Mettasik

Penulis | Shaksi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun