Brahma ca lokadhipati sahampati
Katanjali andhivaram ayacatha:
Santidha sattapparajakkha-jtika
Desetu Dhammam anukampimam pajam.Brahma Sahampati, penguasa dunia ini
Merangkap kedua tangannya (beranjali) dan memohon:
Ada makhluk-makhluk yang memiliki sedikit debu di mata mereka;
Ajarkanlah Dhamma demi kasih sayang kepada mereka.
Setelah tercerahkan oleh Empat Kebenaran Mulia (Catur Arya Satyani) penulis dulu sering meratap, jadi apa peluang kita memadamkan nafsu keinginan rendah kalau kita (terlanjur) terlahir sebagai manusia?
Apa peluang kita melepaskan kemelekatan tanpa bimbingan seorang Buddha? Apa peluang kita melenyapkan penderitaan dalam waktu hanya seumur manusia dimana semua pengetahuan, pengalaman, dan kebijaksanaan yang terkumpul di-reset setiap kali kita terlahir kembali?
Memang dalam Dhammapada 182 Sang Buddha menyadarkan kita semua bahwa terlahir sebagai manusia adalah pencapaian yang luar biasa karena sangat sulit dan sangat langka. Bagaimana terlahir sebagai manusia-lah yang memungkinkan kita mendengar dan belajar Dhamma. Tetapi dari 31 alam yang ada, alam manusia hanya setingkat diatas alam menderita dan paling bawah dibanding alam bahagia lainnya sedemikian sehingga tidak pantas disebut sebagai alam bahagia.
Dukkha yang nyaris jadi depresi ini mengingatkan penulis pada paritta Dhammadesana Aradhana yang penulis kutip diatas. Paritta yang dipanjatkan di setiap pujabakti yang dhammadesana-nya dilakukan seorang bhikku ini menggambarkan usaha seorang Brahma membujuk Sang Buddha agar tidak langsung parinibbana setelah mencapai penerangan sempurna, tapi membabarkan Dhamma pada umat manusia.Â
Jangan-jangan Sang Buddha sedianya memutuskan tidak membabarkan Dhamma karena pesimisme yang sama!
Kejadian yang digambarkan dalam petikan paritta tadi memberikan harapan dalam diri penulis. Ungkapan "sedikit debu" yang saking dahsyatnya sampai menggerakan seorang Buddha untuk memutuskan membabarkan Dhamma pada umat manusia yang praktis terkubur kesenangan indriya itu, kan milik manusia.Â
Manusia seperti penulis dan anda!
Tapi muncul kegundahan baru. Apa yang telah mereka lakukan sehingga mereka memiliki hanya sedikit "debu"? Atau itu seperti bakat yang datang sejak lahir? Tidak bisa dipelajari?
Pencarian ini menuntun penulis sampai pada konsep parami -- penyempurnaan kebajikan.
Iya, kebajikan saja tidak cukup karena hanya menuntun pada kelahiran ke alam yang lebih baik. Yang kalau masih dilahirkan berarti masih belum lepas dari samsara. Parami-lah yang menuntaskan usaha melenyapkan penderitaan dengan memupuskan segala kemelekatan hingga tercapainya tingkat kesucian.
Karena kebajikan menuntun ke kelahiran ke alam yang lebih baik berarti kebajikan tidak seperti pengetahuan, pengalaman, dan kebijaksanaan, TIDAK ikut ter-reset ketika kita tumimbal lahir. Thus, baik kebaikan maupun parami adalah usaha nyata, kongkrit yang bisa kita lakukan untuk mengurangi "debu" pada diri kita SEKARANG.
Kesepuluh parami yang bisa kita latih adalah :
- Dana, keikhlasan ketika berdana baik barang, jasa atau sekedar niat
- Sila, kejujuran dalam menjaga kesucian
- Nekkhama, kesadaran untuk menghentikan kemelekatan pada nafsu indriya
- Panna, kebijaksanaan untuk terus menambah pengetahuan ttg Dhamma
- Viriya, keuletan memelihara dan mengembangkan kebajikan
- Khanti, kesabaran dalam menerima buah kamma
- Sacca, keteguhan pada pandangan benar
- Adhitthana, kegigihan yang berlandaskan kebijaksanaan
- Metta, kebaikan hati yang tanpa batas
- Upekkha, ketenangan bathin yang tak mudah goyah
Sila memang sudah jadi pedoman sehari-hari buddhis. Dana adalah praktek dhamma yang paling sederhana. Panna sedang anda lakukan dengan membaca majalah buddhis ini.
Sisanya? Bhavana. Cari dan baca rubrik meditasi.
Pada akhirnya Sang Buddha-lah yang benar. Sungguh beruntung terlahir sebagai manusia yang berakal budi yang bisa belajar, mengajar, dan berbagi Dhamma. Waktu yang seumur manusia menjadi berkah karena memungkinkan kita menimbun kebajikan dan menyempurnakan parami. Lingkaran samsara bukan lagi keniscayaan.Â
Well, tentunya jika dan hanya jika kita sungguh bertekad melenyapkan penderitaan...
Semoga celotehan tertulis penulis ini menumbuhkan semangat yang sempat kendor, mengembalikan kepercayaan diri yang kadung melorot atau menginspirasi tujuan hidup yang sarat dengan pilihan duniawi ini...
Sabbe Satta Bhavantu Sukhitata
Semoga semua mahluk berbahagia.
SADHU.
**
Penafian
Opini dalam artikel ini meski terinspirasi ajaran Agama Buddha mahzab Theravada adalah murni buah pikir pengarang sendiri yang tidak mewakili organisasi, mahzab atau ajaran manapun.
**
Jakarta, 19 Juli 2023
Penulis: Paul Bhinneka, Kompasianer Mettasik
Pemerhati Dhamma
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H