Silakan jujur kepada diri sendiri. Apakah yang muncul dalam benak, bilamana menyaksikan atau membaca sebuah berita tentang perampokan? Terkhusus, yang menyebabkan kematian korban? Beberapa mungkin terpikir, bahwa keamanan perlu diperketat agar jangan sampai terulang kembali.
Beberapa yang lain, tergerak hatinya, muncul simpati kepada korban yang telah melanjutkan perjalanannya. Mengembangkan cinta kasih dengan pengharapan, semoga mereka memiliki kondisi untuk berbahagia.
Akan tetapi, berapa banyak yang muncul iba kepada si perampok? Berapa banyak pihak yang turut mengembangkan cinta kasih kepada perampok tersebut? Bukankah mereka juga semestinya bisa berbahagia? Terlebih, Empunya Berkah menyampaikan, bahwa semestinya cinta kasih dikembangkan dalam hati, tanpa batas kepada setiap makhluk dunia. Baik ke arah atas, bawah, dan di antaranya.Â
Tidak sempit, tanpa disusupi kedengkian, tanpa didomplengi kebencian.
Jangan salah mengerti dahulu. Mengembangkan cinta kasih kepada penjahat bukan berarti menyetujui tindakan jahat. Tidak ada pembenaran untuk tindak buruk apa pun. Hanya saja, tidak sepantasnya kita membenci mereka. Sebab, kebencian itu sendiri sudah merupakan pangkal keburukan. Mengembangkan kebencian kepada siapa pun, membuat kita menderita.
Jika kita memahami, setiap makhluk sesungguhnya ingin sekali berbahagia, tetapi tidak semua mengetahui cara yang tepat untuk berbahagia. Dengan berpikir demikian, tidak sampai muncul penggerogot batin yang membuat kita pilih kasih dalam mengembangkan cinta kasih.
Lantas, bagaimana cara yang tepat mengembangkan cinta kasih kepada para dursila? Dengan sepenuhnya berharap agar mereka segera lepas dari kubangan gelap. Jika ada sesuatu yang bisa kita lakukan untuk membebaskan mereka dari kegelitaan, itu jauh lebih baik. Inilah wujud maitri karuna yang nyata. Tidak sebatas konsep di awang-awang.
Ada sebuah kisah untuk direnungkan. Dikisahkan seorang pemuda yang piawai menjadi murid kesayangan gurunya. Banyak yang iri hati, sampai memfitnah bahwa pemuda tersebut berbuat curang dengan istri guru tersebut. Karena memercayai fitnah ini, gurunya mencari cara agar si pemuda celaka.
Dia menyuruh pemuda agar mencari seribu jari sebagai syarat pendidikannya. Pemuda yang mula-mula enggan menyakiti pihak lain, rela melakukannya bersebab keyakinan pada gurunya. Sekian banyak kehidupan dihabisinya demi mengumpulkan jari.
Suatu ketika, Sang Begawan yang penuh kewelasasihan menghampiri untuk membantunya sadar bahwa apa yang dilakukannya keliru. Beliau mengetahui bahwa pemuda tersebut sesungguhnya memiliki potensi untuk segera terbebas dari penderitaan secara tuntas. Pemuda tersebut yang kini dikenal dengan sebutan Bhante Angulimala.
Melalui kisah tersebut, bisa dipahami bahwa seseorang yang awalnya baik-baik bisa menjadi bengis karena terjebak pandangan salah. Akan tetapi, selalu ada kesempatan bebenah diri saat orang tersebut bisa melepaskan kekeliruannya. Seumpama rembulan yang sudah tidak ditutup awan. Memahami ini, masih pantaskah kita menghakimi? Masih pantaskah kita pilih kasih dalam mengembangkan cinta kasih?
**
Jakarta, 17 Juli 2023
Penulis: Bhikkhu A.S.K. Thitasaddho, Kompasianer Mettasik
Praktisi Dhammavinaya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H