Sekilas memang terlihat seperti itu, tetapi kita bisa memaknai kisah ini dari kacamata lain. Pertama, tentu saja kisah ini tidak dimaksudkan agar kita melakukan tindakan bunuh diri. Sebagai perumah tangga, jika saya melakukannya, tentu saya akan membuat sedih ibu dan anggota keluarga yang lainnya. Bodhisattva melakukan ini karena ia sudah memutuskan untuk tidak hidup berumah tangga, dan dengan demikian ia tidak lagi memiliki sanak saudara untuk ditanggung.
Kedua, esensi dari kisah ini bukanlah mengorbankan nyawa, tetapi mengorbankan kepentingan diri kita untuk kepentingan makhluk lain, yang dilambangkan dengan Bodhisattva merelakan tubuhnya disantap oleh harimau. Kita bisa menganggap kisah ini hanyalah simbolis, dan mempraktikannya dengan bentuk lain, seperti:
- Ketika duduk di bus atau kereta, kita memberikan tempat duduk kita untuk ditempati oleh manula atau ibu hamil.
- Ketika kita memiliki makanan dan melihat ada yang kelaparan, kita membagikan sebagian agar bisa disantap oleh orang yang kelaparan itu.
- Ketika kita mendapatkan rezeki berupa materi, kitab isa menyisihkan sebagian untuk diberikan kepada yang membutuhkan.
Jangan ditelan mentah-mentah harus mengorbankan nyawa... sebab kita (atau setidaknya, saya) adalah manusia biasa, belum Bodhisattva.
Demikian cerita dari salah satu bagian relief Candi Borobudur ini agar bisa menjadi salah satu perenungan bagi kita. Ambil yang baiknya saja.
Referensi:
- Vyaghri Jataka, Jatakamala Bab 1. Bisa dibaca secara daring dari https://borobudurwisdom.com/jatakamala-1-vyaghri-jataka/
**
Jakarta, 10 Juli 2023
Penulis: Gavin Goei, Kompasianer Mettasik
Psikolog | Akademisi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H