Mohon tunggu...
Kompasianer METTASIK
Kompasianer METTASIK Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis itu Asyik, Berbagi Kebahagiaan dengan Cara Unik

Metta, Karuna, Mudita, Upekkha

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Toleransi dan Non-Diskriminasi Dalam Buddhisme

13 Juni 2023   05:55 Diperbarui: 13 Juni 2023   06:13 398
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ajaran Buddhisme menekankan pentingnya menumbuhkan sikap toleransi dan non-diskriminasi terhadap semua makhluk. Filosofi ini berakar pada keyakinan bahwa semua individu pada dasarnya sama dan bahwa kita harus berusaha untuk memperlakukan orang lain (bahkan makhluk lain) dengan hormat dan kebaikan, terlepas dari latar belakang atau kepercayaan mereka.

Dalam agama Buddha, praktik toleransi terkait erat dengan konsep "non-dualitas", yang menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan inheren antara benda, orang, atau peristiwa. Ini berarti bahwa tidak ada "baik" atau "buruk" yang melekat dan bahwa semua pengalaman dan makhluk sama-sama layak mendapatkan perhatian dan rasa hormat kita.

Pada intinya, ajaran Buddha mengajarkan bahwa persepsi kita terhadap orang lain sering kali dibentuk oleh bias dan prasangka kita sendiri. Untuk mengatasi kecenderungan ini, kita harus berusaha untuk menumbuhkan kesadaran dan kasih sayang yang lebih besar bagi orang-orang di sekitar kita. Ini mengharuskan kita untuk memperhatikan pikiran dan perasaan kita sendiri, serta orang lain, dan untuk tetap terbuka dan menerima gagasan dan perspektif baru.

Salah satu ajaran utama agama Buddha adalah prinsip "ahimsa", atau tidak merugikan. Prinsip ini mendorong kita untuk tidak menyakiti orang lain, baik melalui kekerasan fisik maupun melalui kata-kata dan tindakan kita. Dengan mempraktikkan ahimsa, kita dapat menciptakan dunia yang lebih damai dan harmonis, bebas dari diskriminasi dan intoleransi.

Kendati demikian, tidak semua umat Buddha bisa mempraktikkan praktek toleransi dan non-diskriminasi dengan baik. Hal ini tidak terlepas dari adanya bias dan prasangka.

Namun, Buddhisme mempromosikan praktek toleransi dan non-diskriminasi, tidak kebal terhadap bias dan prasangka yang ada di masyarakat secara luas. Secara historis, beberapa tradisi Buddhis mendiskriminasi kelompok tertentu, termasuk wanita, individu LGBTQ+, dan orang-orang dari latar belakang ras dan etnis yang berbeda.

Namun, dalam beberapa tahun terakhir, ada gerakan yang berkembang di dalam komunitas Buddhis untuk mengatasi masalah ini dan untuk mempromosikan inklusivitas dan keragaman yang lebih besar. 

Banyak pemimpin dan praktisi Buddhis bekerja untuk menantang stereotip dan prasangka, dan untuk menciptakan komunitas yang lebih ramah dan menerima semua individu.

Salah satu contohnya adalah gerakan "Engaged Buddhism", yang berupaya menerapkan prinsip-prinsip Buddhis pada masalah sosial dan politik. Penganut Buddhis yang terlibat, percaya bahwa latihan spiritual tidak terpisah dari aksi sosial dan politik, dan merupakan tanggung jawab kita sebagai umat Buddhis untuk berupaya menciptakan dunia yang lebih adil dan penuh kasih.

Sebagai kesimpulan, Buddhisme tidak selalu hidup sesuai dengan cita-cita toleransi dan non-diskriminasi, ada pengakuan yang berkembang dalam komunitas Buddhis akan pentingnya mengatasi masalah ini. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun