Setelah bermeditasi sekian lama, kadang ada teman yang penasaran, yang suka menanyakan tentang meditasi ke saya, bahkan tidak jarang ada yang ajak berdebat.
Seperti hari itu, sahabatku berdebat tentang meditasi cinta kasih (metta). Mengapa harus memancarkan metta kepada orang yang dibenci? Mengapa harus membuka luka lama? Bukankah kebencian itu harus dilupakan? Dengan memancarkan cinta kasih ke orang yang dibenci bukankah itu mengingatkan dan membuka luka lama? Dan masih banyak pertanyaan lanjutan lagi.
Dengan penuh percaya diri saya menjelaskan kepadanya. Dalam Dhammapada 1.5 diajarkan bahwa kebencian tidak akan pernah berakhir apabila dibalas kebencian. Kebencian baru akan berakhir bila dibalas dengan tidak membenci.
Bagaimana cara supaya tidak membenci? Salah satu caranya dengan memancarkan cinta kasih kepada yang dibenci. Tentu awal-awal ini akan berat sekali, tetapi dengan terus mengembangkan cinta kasih, perlahan dan pasti semua kotoran kebencian ini akan terkikis.
Kita memancarkan cinta kasih buat yang dibenci, belum tentu orangnya mengetahui. Niat memancarkan metta itu lebih buat kepentingan diri sendiri.
Ibarat di dalam badan ini ada kotoran kebencian. Kita memancarkan metta buat mereka, dengan niat supaya kotoran kebencian yang selama ini kita pendam akan terkikis dan lenyap sehingga berganti menjadi perasaan cinta kasih (metta), welas kasih (karuna), turut berbahagia (mudita) dan keseimbangan batin (uppekkha).
Selama ini kita menumpuk kotoran dan berusaha melupakannya seperti ingin menutupnya dengan karpet. Tetapi kotoran itu masih tetap ada disitu. Penumpukan itu makin hari akan menjadi semakin banyak, dan mungkin suatu saat akan meledak seperti bom waktu. Andai tidak meledak pun, akan menjadi sumber penyakit.
Setiap saya menjawab pertanyaannya, selalu ada jawaban sanggahan dari sahabatku. Intinya dia tidak terima, sahabatku merasa metta ke orang yang dibenci begitu konyol.
Jujur saya bukanlah pakar, saya juga pemula dalam meditasi ini, daripada berdebat, saya menjawab singkat "Ehipassiko" saja. Daripada berdebat, bukankah lebih baik buktikan sendiri?"
Di zaman sekarang, kebutuhan ehipassiko meningkat. Tidak usah jauh-jauh. Bahkan foto pun tidak jarang menipu kan? Daripada berasumsi dan berpersepsi sendiri tentang berbagai hal, lebih baik mari kita berehipassiko.
Ada satu pengalaman saya yang menarik tentang persepsi. Ceritanya di group Mettasik kami, ada Engkong Felix dan Acek Rudy. Tentu mereka adalah engkong buat cucunya dan acek buat ponakannya. Tetapi karena persepsi saya yang penuh  keakuan, saya pikir mereka sudah setua engkong dan acekku.
Hari itu engkong Felix ada share foto buat tebak dirinya yang mana? Jujur kalau lihat foto tersebut, saya yakin tidak ada engkong di sana. Sebab yang di foto masih muda-muda semua. Terus engkong yang mana? Demikian halnya dengan acek. Pas lihat fotonya saya kaget, tidak seperti acek saya.
Gara-gara persepsi tersebut, sekarang saya menganti nama julukan saya jadi Non Lisa, biar kesannya masih muda gitu loh... haiya...kemelekatanku!
Jadi saran buat teman-teman, jangan langsung percaya sama persepsi Anda. Persepi akan sangat berbahaya tanpa ehipassiko. Lebih baik kita menjadi lebih bijak dan senantiasa berehipassiko. Datang, lihat dan buktikan!
Semoga semua makhluk hidup berbahagia.
**
Jakarta, 15 Juni 2023
Penulis: Lisa Tunas, Kompasianer Mettasik
A Loving Mom Who Learns Writing
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H