Mohon tunggu...
Kompasianer METTASIK
Kompasianer METTASIK Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis itu Asyik, Berbagi Kebahagiaan dengan Cara Unik

Metta, Karuna, Mudita, Upekkha

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Memahami Dhamma, Itu Perkara Sebab Akibat

15 Mei 2023   05:55 Diperbarui: 15 Mei 2023   07:41 297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Memahami Dhamma, Itu Perkara Sebab Akibat (gambar: uplift.love, diolah pribadi)

Penulis terlahir dan dibesarkan sebagai umat Buddhis. Tapi, bukan berarti sudah mengerti, memahami, dan mempratekkan ajaran Dhamma sesungguhnya.                          

Selama 40 tahun pertama hidup sebagai manusia, spritual yang dijalankan oleh penulis lebih mengedepankan ritual sembahyang. Mengandalkan doa dan doa. Pokoknya doa deh, pasti di berikan. Dengan kata lain 'way out' dari segala penderitaan adalah "berkah", bonusnya mukjizat.

Dan, selain doa, banyak juga pantangan-pantangan yang harus dipatuhi. Katakanlah semacam kesungguhan hati agar malapetaka tidak datang menghampiri. Cara yang tepat untuk lebih mendekatkan diri ke alam Nirwana. Menjalankan amanat yang sudah dicanangkan sejak ratusan, bahkan mungkin ribuan tahun lalu.

Salah satu contohnya adalah; "jangan main ompim pah di malam hari nanti akan di culik dedemit, nak." Itu ancaman dari almarhum mama yang masih membekas hingga kini.

Lalu, adapula "jangan potong kuku di malam hari, nanti mbak kunti  akan muncul."

Dan, yang paling ngeri-ngeri sedap adalah, "jangan tunjuk jari ke bulan, bisa hilang jarimu." 

Lalu, semuanya berubah.

Ada sebuah kalimat yang mengatakan "Life Begins at 40." Tepat sepeti itu. Penulis baru sadar bahwa dalam 40 tahun kehidupan, meskipun KTP tertera agama Buddha, tapi sesungguhnya penulis bukanlah penganut Buddha-Dhamma.

Lah, kenapa bisa?

Karena Buddhisme bukan hanya persoalan ritual. Semua ada prosesnya. Dan setiap proses pasti akan menghasilkan reaksi. Sebab akibat Namanya.

Dan itulah yang terjadi pada 2017 silam. Saat itu, penulis diajak terlibat dalam sebuah komunitas kecil yang mengajarkan tentang "kesadaran dan hukum tabur-tuai." Meskipun komunitas tersebut tidak dikhususkan oleh umat Buddha saja, tetapi penulis tahu bahwa itu adalah salah satu manifestasi dari ajaran Dhamma.

Konsepnya cukup sederhana. Hanya menjelaskan bahwa kehidupan dan segala isinya adalah alam yang terkoneksi. Sehingga apapun yang kita lakukan akan memberikan efek yang berkepanjangan. Baik terhadap orang lain, diri kita sendiri, serta segala hal yang terhubung di antaranya.

Pusat dari semesta ternyata berada di dalam diri kita. Semuanya dimulai dari pikiran, ucapan, dan perbuatan. Hal sederhana ini yang kemudian akan menentukan, seperti apa kehidupan yang akan kita jalani. Seperti apa kehidupan kita kini dan nanti.

Mengenal hukum sebab akibat yang merupakan salah satu dari unsur ajaran Dhamma tidak serta merta membuat penulis berubah menjadi orang suci. Namun, penjelasan yang termaktub di dalam hukum tersebut laksana sebuah panduan bahwa hidup di dunia ini bukan hanya sekadar tentang aku saja. Itu adalah keakuan.

Kembali ke masa silam. Sebelum benar-benar memahami hukum sebab akibat, penulis sangat mudah membuat keputusan dan berani berkata-kata tanpa mempertimbangkan risikonya.

Tidak suka, ya langsung omong saja. Tidak peduli orang lain tersinggung atau tidak. Kata-kata yang paling pamungkas adalah, "Tidak usah munafiklah. Ini kan urusan gua."

Nyatanya tidak demikian.

Setelah memahami konsep sederhana ini, penulis tercerahkan. Seperti di cerahkan sinar matahari pagi. Sehingga dalam membuat keputusan dan mengucapkan sesuatu menjadi selalu berpikir dan berpikir.

Apakah timbul keraguan? Tidak.

Malah semakin lebih berhati-hati lagi. Penulis sadar akan resiko hukum sebab akibatnya. Pandangan ke-aku-an 'its me ' akhirnya berubah menjadi 'its about all.' Perbuatan ataupun ucapan yang keliru dapat menimbulkan salah paham yang bisa menimbulkan kebencian, lalu berujung merugikan orang lain dan diri sendiri.  

Konsep DOA pun berubah, Dari sebelumnya Don't Action just Pray menjadi Do on Action.

Jika flash back lagi ke belakang...

Empat Puluh tahun terbuang sia sia, tapi jika merenungkan kembali untunglah 40 tahun setelahnya masih berkesempatan memahami ajaran Dhamma yang luar biasa.

**

Surabaya, 15 Mei 2023
Penulis: Suwarman Tandana, Kompasianer Mettasik

Trainer | Konsultan Logo

                                                                                                                                                                 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun