Mohon tunggu...
Kompasianer METTASIK
Kompasianer METTASIK Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis itu Asyik, Berbagi Kebahagiaan dengan Cara Unik

Metta, Karuna, Mudita, Upekkha

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Terasa Hidup di Neraka

12 Mei 2023   05:52 Diperbarui: 12 Mei 2023   05:52 303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Terasa Hidup di Neraka (gambar: lifehopetruth.com, diolah pribadi)

Adakah yang mau hidup di neraka?

Rasanya tidak ada yang mau. Karena neraka telah mempunyai kesan yang tidak menyenangkan. Sebuah tempat yang mengerikan, penuh dengan rasa tidak nyaman, akan mengalami penyiksaan, dan segala kondisi buruk lainnya.

Namun untuk merasakan kondisi seolah-olah ada di neraka, kita tidak perlu menunggu kematian datang. Dalam kehidupan ini, kita bisa merasakan rasa tidak nyaman yang berkepanjangan. Misalnya, saat Anda dikejar-kejar tukang tagih kredit. Setiap hari hidup dalam ketakutan sampai urusan tersebut selesai.

Dalam kehidupan ini, banyak orang yang juga hidup terasa di neraka karena perbuatan buruk yang telah dilakukan. Buddha menguraikan secara singkat dan padat; ketika seseorang mempunyai empat kualitas buruk maka dia seolah-olah berada di neraka.

"Para bhikkhu, seseorang yang memiliki empat kualitas dilemparkan ke neraka seolah-olah dibawa ke sana. Apakah empat ini? Ia membunuh makhluk hidup, mengambil apa yang tidak diberikan, melakukan hubungan seksual yang salah, dan berbohong. Seseorang yang memiliki keempat kualitas ini dilemparkan ke neraka seolah-olah dibawa ke sana." Nirayasutta, Anguttara Nikaya 4.64 (1)

Kita bisa melihat dalam masyarakat sekarang, bagaimana kehidupan dari seseorang yang telah melakukan perbuatan buruk yang akhirnya menjalani proses hukum atau viral di media sosial.

Ketika seseorang melakukan pembunuhan, dia akan berusaha untuk menutupi perbuatan buruknya dengan berbagai cara. Berusaha membuang, menyembunyikan, atau menghacurkan barang bukti. Berusaha untuk meninggalkan tempat kejadian, pergi ke kota lain untuk bersembunyi.

Kalau pun pembunuhan yang dilakukan tidak menjadi kasus hukum, namun secara batin dia akan merasa tidak tenang. Bisa jadi, tidur pun tidak akan terasa nyenyak. Teringat dengan perbuatan yang pernah dilakukan. Mungkin terbawa mimpi. Ada ketakutan yang terus menerus mengikutinya.

Lebih tidak nyaman lagi ketika kasus pembunuhan yang dilakukan ketahuan dan menjadi kasus hukum. Kesibukan selama proses hukum berlangsung dan ketakutan akan menerima hukuman membuat semakin tidak nyaman.

Demikian juga pada mereka yang mengambil barang milik orang lain --- mencuri, mencopet, jambret di jalanan. Pelakunya akan berusaha kabur segera mungkin agar tidak tertangkap basah. Takut menjadi bulan-bulanan massa, babak belur kena bogem mentah.

Barang-barang yang berhasil diambil, segera dijadikan uang. Dijual ke tukang tadah atau ke siapa saja yang membeli dengan harga miring, jauh di bawah harga pasar. Tujuannya jelas, melenyapkan barang bukti untuk menghindari hukuman yang lebih berat kalau berkasus.

Mereka yang melakukan korupsi merasa hidupnya lebih nyaman. Menaikkan standar kehidupannya, menikmati kenyamanan dalam hidup. Mereka menikmati kemawahan hidup; terbang dengan kursi bisnis, makanan premium, tas branded, outfit bermerek, dan segala yang lainnya.

Apakah mereka tenang? Saya yakin secara batin dia tetap merasa tidak tenang. Walaupun ketika berkasus, mereka tetap bisa tersenyum dan tertawa ketika direkam media dalam acara jumpa pers.

Berkenaan dengan hubungan seksual yang salah, bisa menjadi kejahatan seksual dan perselingkuhan. Kejahatan seksual, yang kadarnya ringan maupun berat, bisa menjadi viral dan berlanjut dengan proses hukum. Menimbukan kesibukan baru bagi pelakunya. Sedangkan korban menjadi tekanan tersendiri atau trauma berkepanjagan. Hidup mereka menjadi tidak tenang lagi.

Sedangkan pelaku perselingkuhan akan berusaha menutupi perbuatannya dengan berbagai cara agar terus dapat menikmati kesenangan duniawi. Tidak ada yang mengaku sampai ketahuan dan viral di media sosial. Setidaknya hanya kata maaf dan kilaf yang keluar.

Ketahuan atau tidak, pada umumnya tetap menimbulkan rasa bersalah di dalam batin. Salah satunya, karena sudah mengucapkan janji atau ikrar perkawinan secara agama di depan pemuka agama  (seusai dengan tata cara yang ada di masing-masing agama) dan tamu undangan. Mereka berusaha menutupi perbuatannya dengan berbagai cara ---pergi diam-diam, berbohong, dan melakukan perbuatan buruk lainnya.

Perbuatan berbohong umumnya dilakukan untuk menutupi perbuatan buruk yang pernah dilakukan sebelumnya. Dan sekali berbohong, seseorang akan terus berbohong lagi. Mereka akan tidak tenang dengan keburukan yang telah dilakukan.

Tujuan lain berbohong adalah untuk melakukan kejahatan, misalnya penipuan. Tujuannya untuk keuntungan pribadi atau kelompok tertentu dan merugikan orang lain. Tentu dia tahu bahwa apa yang disampaikan adalah sebuah ketidakbenaran, bukan kebenaran atau fakta yang ada. Inilah yang menimbulkan rasa bersalah yang membuat dirinya menjadi tidak tenang.

Bagaimana hidup Anda saat ini, seperti di surga atau di neraka? Semuanya tidak lepas dari perbuatan-perbuatan yang pernah kita lakukan sebelumnya. Kita sendiri yang menciptakan kehidupan ini. (Dhana Putra)

1. https://suttacentral.net/an4.64/id/anggara?reference=none&highlight=false

**

Tangerang, 12 May 2023
Penulis: Dhana Putra, Kompasianer Mettasik

Dharmaduta | Penulis | Instruktur Meditasi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun