Halo semua, apa kabar teman-teman pembaca? Semoga selalu dalam lindungan Triratna dimanapun Anda berada ya. Dan, berhubung masih dalam suasana bulan Ramadhan, saya pribadi mengucapkan selamat menjalankan ibadah puasa bagi teman-teman yang merayakannya. Semoga kebahagiaan dapat diraih pada hari kemenangan nanti.
Pada artikel kali ini, saya akan membahas tentang Stoicism atau Stoikisme. Mungkin saja istilah ini masih jarang terdengar, tetapi sebenarnya secara tidak sadar, dalam kehidupan sehari-hari kita sudah cukup akrab dengan teori ini.
Ada istilah pribahasa tak kenal maka tak sayang, untuk itu marilah kita berkenalan dengan teori Stoikisme ini.
Dimulai dengan sebuah pertanyaan. Pernah tidak ya, kita berhadapan dengan situasi di mana harapan tidak sesuai dengan kenyataan? Atau, malah ekspetasi yang berbanding terbalik dengan realita. Yang kemudian membuat diri serasa tidak berharga, menimbulkan perasaan cemas, memunculkan stres, serta memicu emosi yang dapat menghancurkan kebahagiaan seketika.
Tentunya kita pernah merasakan hal tersebut, ya. Bahkan mungkin sangat sering. Kabar baiknya, pemahaman Stoikisme ini akan membantu kita dalam menjalani tantangan kehidupan kita sehari-hari.
Stoikisme adalah sebuah paham filsafat yang muncul pada abad ke-3 SM di Athena, Yunani. Paham ini menekankan pada pengendalian diri, tentang kebahagiaan, dan etika. Filosofi ini sangat populer pada zaman Romawi dan dipraktikkan oleh banyak orang pada saat itu.
Lucius Annaeus Seneca atau yang dikenal dengan Seneca merupakan salah seorang filsuf Stoik yang cukup legendaris. Selama hidupnya, Seneca meninggalkan karya-karya yang cukup mahsyur. Karya serta pemikirannya menjadi inspirasi bagi tokoh pemikir lainnya seperti Marcus Aurelius dan William Shakespeare.
Paham Stoikisme mengajarkan bahwa manusia harus menerima kenyataan dengan tenang, mengendalikan emosinya, dan hidup dengan moralitas yang tinggi. Nah, saya sendiri menganggap jika ada beberapa kemiripan antara paham Stoikisme dan ajaran dhamma. Meskipun, tidak sepenuhnya sama.
Filosofi Stoikisme mengajarkan bahwa kita harus memusatkan perhatian pada apa yang dapat dikendalikan dan menerima apa yang tidak dapat kita kendalikan. Senada dengan itu, dalam agama Buddha, ada kutipan sutta yang berbunyi sebagai berikut,
"Tidak berbuat perbuatan salah walaupun kecil, yang dapat dicela oleh para bijaksana, senantiasa bersiaga dalam ujaran cinta kasih, semoga semua mahkluk berbahagia dan tentram, semoga semua mahkluk terkondisi kebahagiaan di manapun mereka berada."
Selanjutnya, menurut filosofi Stoikisme, kebahagiaan sejati itu dapat dicapai melalui kesederhanaan dan hidup sesuai dengan kodrat seorang manusia. Hal-hal yang tidak dapat kita kendalikan, seperti keberuntungan dan kemajuan karir, tidak disarankan untuk menjadi fokus kita. Sebaliknya, kita harus memusatkan perhatian pada hal-hal yang dapat dikendalikan, seperti perilaku dan tindakan kita sendiri.
Di ajaran buddha sendiri, ada sebuah petikan sutta yang berbunyi sebagai berikut, "berpengetahuan luas serta berketerampilan, terlatih baik dalam tata susila, dan bertutur kata dengan baik, menjauhi, menghindari perbuatan buruk itulah berkah utama."
Kemiripan lain antara filosofi stoikisme dan ajaran Buddha Dharma juga terdapat pada unsur pengendalian diri atas keinginan-keinginan. Mengutamakan hidup dengan etika yang tinggi, atau dikenal dengan pedoman jalan tengah atau ajaran jalan utama berunsur delapan.
Kita di ajarkan juga untuk mengendalikan amarah dalam diri kita sehingga dapat hidup dengan bijaksana dan berprilaku dengan baik. Inti dari semua ini adalah praktik nyata dalam kehidupan kita sehari-hari.
Stoikisme mengajarkan kita untuk seimbang. Sebuah seni tentang kebahagiaan, kebaikan, dan pengampunan. Pemahaman ala Seneca ini dapat mengajarkan bagaimana kita dapat memahami setiap kebaikan yang diperbuat.
Hal ini sejalan dengan ajaran cinta kasih dari Guru Buddha. Kebencian tidak akan selesai jika dibalas dengan kebencian, tetapi kebencian seseorang akan padam dengan cinta kasih.
Semoga guratan tulisan singkat ini dapat membuka pemahaman kita dan menumbuhkan semangat praktik kebaikan untuk kehidupan kita sehari-hari.
Sebagai penutup jika ingin membaca lebih dalam mengenai paham Stoikisme ini, teman-teman bisa membaca buku yang berjudul "Sebuah Seni Tentang Kebahagiaan, Kebaikan, Kemarahan dan Pengampunan ala Seneca."
**
Jakarta, 20 April 2023
Penulis: Jenny Lie, Kompasianer Mettasik
Appamadena Sampadetha, Berjuanglah dengan Sungguh-Sungguh
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H