Mohon tunggu...
Kompasianer METTASIK
Kompasianer METTASIK Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis itu Asyik, Berbagi Kebahagiaan dengan Cara Unik

Metta, Karuna, Mudita, Upekkha

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Makna Ceng-Beng Bagiku

18 April 2023   05:55 Diperbarui: 18 April 2023   05:51 329
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Makna Ceng-Beng Bagiku (gambar: kompas.com, diolah pribadi)

Memasuki bulan April, tepatnya di tanggal 5 April adalah hari perayaan Ceng Beng. Hampir semua warga Tionghoa disibukkan oleh tradisi menggelar ritual yang juga dikenal dengan Sembayang Kubur itu. Durasinya biasanya dilaksanakan selama 10 hari. Sebelum dan sesudah tanggal 5 April setiap tahunnya. Warga bebas memilih satu hari dalam kurun waktu tersebut.

Adapun makna dan tujuan sembayang Ceng Beng adalah untuk mengingat dan menghormati para leluhur, serta ajang silaturami para anggota keluarga inti. Tradisi ini memang sangat lekat dengan Tionghoa. Tapi, ada juga yang menganggap bahwa tradisi ini adalah bagian dari agama Buddha.

Perlu dipahami bahwa ada perbedaan antara Kelengteng dan Vihara. Secara prinsip, Klenteng adalah tempat sembahyang umat Kong Hu Cu dan juga Tao. Sementara Vihara adalah tempat beribadah umat Buddha.

Perbedaan lainnya, di dalam Klenteng jamak terlihat patung dewa-dewi Tionghoa. Sementara di Vihara biasanya hanya ada Ruppang Buddha saja. Kendati demikian, banyak yang masih mengira jika kelenteng dan vihara adalah sama. Upacara Ceng Beng ini banyak dilakukan di Klenteng-klenteng, maka tidaklah heran, banyak yang menganggap Ceng Beng sebagai salah satu ritual umat Buddha.

Kembali ke ritual Ceng Beng.

Toko-toko penjual peralatan sembayang pun menuai keuntungan yang luar biasa karena harganya cukup tinggi. Selain perlengkapan sembahyang seperti dupa, pelita, lilin, ada juga perlengkapan yang menyerupai segala sesuatu yang biasanya digunakan oleh mendiang selama masih hidup. Persis toserba serba ada.

Yang lebih mencengangkan lagi, "toserba" tersebut juga menjual impian. Menyediakan barang-barang yang tidak atau belum bisa dimiliki oleh Sebagian besar manusia. Katakanlah rumah mewah, kapal pesiar, hingga jet pribadi.

Aku pernah beberapa kali menemani temanku mencari keperluan di sana. Diam-diam hati kecilku tersenyum melihat kesibukan di toko itu. Sekaligus tercengang melihat pembeli yang menggesek kartu kreditnya dengan jumlah yang fantastis. Mencapai 20 juta rupiah hanya untuk barang-barang kertas yang akan menjadi abu dalam beberapa menit.

Sungguh sangat disayangkan, bakar duit hanya untuk menunjukkan keegoisan diri agar kelihatannya berbakti. Menurut logikaku, lebih bijak uang sebesar itu dipakai untuk berbuat kebajikkan atas nama leluhur kita. Aku rasa itu jauh lebih berguna bagi para leluhur kita. Menerima, menikmati doa, dan kebahagiaan atas pelimpahan jasa yang dilimpahkan oleh kebajikan-kebajikan yang diperbuat oleh anak cucunya.

Sedang asyik melamun, tiba-tiba temanku datang bertanya sambil menujukkan seperangkat kebaya, lengkap dengan tas dan sepatu kertas. Tapi, tanpa sarung. Tanpa kusadari, aku tertawa ngikik, membuat temanku benggong.

"Kok elo ketawa sih? Ini cocok ga?" Tanya Ria (nama samara)

"Gak-lah, setau gue kalau  atasan kebaya, padanannya sandal. Btw emang semasa hidupnya mama elo pernah pakai kebaya? Ntar si mama binggung kalau dikirimin baju kaya gitu."

"Trus ada konde palsu ga? Atau sanggul, rambut palsu yang menyerupai sanggul gitu deh buat kalau lagi pake kebaya. Dan yang jadi pertanyaan gue di alam sana ada salon gak?" Aku terus menyerocos, mencoba menyamakan logikaku atas dunia ini dan dunia sana.

"Mama gue gak pernah pakai kebaya, buat menuhi-menuhi koper aja, abis gue binggung, ayo bantu cari dong perlengkapan buat papa gue, daripada elo duduk duduk aja di sini, tempat baju-bajuannya ada di lorong sana." Sepertinya Ria tidak memedulikan pertanyaanku. Di kepalanya, hanya ada satu tujuan. Membelikan mendiang orangtuanya perlengkapan yang ia rasa cocok buat alam sana.

"Sori, gue ga mau masuk ach, bejejel begitu. Ntar yang ada gue mabok, elo bawa aja beberapa stel kemari ntar gue bantu cari disini." Jawabku sambil tetap duduk diam, karena di situ cuma ada satu bangku. Begitu angkat pantat pasti akan diduduki orang lain.

Setelah hampir dua jam, Ria keluar diiringi pelayan toko yang membawa 8 koper-koperan. Itu baru untuk papanya, belum untuk mamanya, mertuanya. Urung dibeli karena takut tidak muat di mobilnya.

Setelah selesai berbelanja, aku baru tahu jika Ria sudah menghabisi uang sekitar satu juta rupiah hanya untuk membeli perlengkapan bagi papanya saja. Kalau untuk tiga almarhum lainnya, sama dengan tiga jutaan rupiah lagi. Alangkah sayangnya. Lebih bijak kalau uang itu digunakan untuk amal, namun aku tak mau rewel berkomentar.

"Eh elo gak Ceng Bengan? Ria tiba-tiba menyelutuk.

"Udah waktu tanggal 23 kemarin." Aku menjawab santai.

"Oh yang waktu itu elo cuti ya? Kata elo ke Ancol... Enak banget cara elo cengbengan." Ria menampik, ada sedikit kecemburuan di sana.

"Ya, serius. Gue ke Ancol, tabur bunga aja. Abis itu kita makan bersama. Enak atau ribet itu kita yang bikin sendiri."

"Gue tanggal 22 kemarin ke Krawang, ke mama. Minggu besok ke gunung gadung ke si papa. Makanya gue kalau cengbengan ga cukup satu hari, untung kemarin ada libur, kalau ga ampe minggu depan gue masih sibuk ke kuburan." Ria berkata tanpa melihat ke arahku.  

"Oh elo udah ke si mama, terus yang tadi beli untuk siapa? Kata elo buat si mama?"

"Ya, kemarin gue isi kopernya dengan baju-baju yang tadi gue tunjukin ke elo. Baru kepikir omongan elo tadi, mama gue ga pernah pakai kebaya, kenapa kemarin gue isiin kopernya pakai kebaya ya."

"Nah lho, entar si mama binggung deh, nih baju apa? Gimana pakainya? Elo beliin sarungnya ga?" Tanyaku terheran-heran dengan aksinya.

"Ga." Ria menjawab singkat. Aku pun diam. Tapi, di dalam hati aku ngakak.

Aku pikir apa yang temanku lakukan ini sangat tidak masuk akal. Ia melakukan ritual hanya ikut-ikutan saja. Jadi, yang dibeli juga ngasal.

Bukan hanya temanku yang satu ini. Tapi, banyak juga orang di luar sana yang heboh sembayang Ceng Beng hanya sekedar ikut-ikutan. Di keluargaku sendiri sudah tidak pernah ada ritual sembayang leluhur. Kedua orang tuaku dikremasi dan abunya dibuang kelaut.

Ayahku penganut Khong Hu Cu, ibuku sudah menerima Yesus jauh sebelum meninggal. Adik-adik dan keponakanku pun sudah pindah ke Katholik. Maka kami putuskan bersama untuk mendoakan orang tua kami sesuai dengan ajaran agama masing-masing.

Setiap pagi, saat aku ber-Pindapatta kepada Bhante dan Ayya, aku selalu melimpahkan jasa kebajikan yang kuperbuat untuk orang tuaku, leluhurku dan semua mahkluk yang berhubungan karma denganku. Pelimpahan jasa atau istilah Buddhish-nya disebut Pattidana ini dapat kulakukan setiap saat aku melakukan perbuatan baik.

Setiap masa-masa Ceng Beng dan Cit Gwe, banyak Vihara yang menggelar pemasangan lilin, aku juga ikutan pasang lilin untuk penerang bagi leluhur dan semua mahkluk yang berhubungan karma denganku. Kalau dulu aku selalu hadir pada saat acaranya, tapi sekarang aku hanya mengikutinya dari dalam hati.

Menurutku berbakti pada orang tua selayaknya dilakukan pada saat beliau masih hidup. Berbahagialah orang-orang yang masih mempunyai orang tua, jangan lewatkan kesempatan emas untuk merawat orang tua kalian.

Apabila sudah meninggal, yang beliau-beliau butuhkan adalah doa dan pelimpahan jasa, bukan dengan barang-barang yang dapat menyeret para mendiang dengan kemelekatan duniawi.

Semoga Semua Makhluk Berbahagia

**

Jakarta, 18 April 2023
Penulis: Sumana Devi, Kompasianer Mettasik

Hidup Harus Penuh Sati, Setiap Saat Diamati

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun