Mohon tunggu...
Kompasianer METTASIK
Kompasianer METTASIK Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis itu Asyik, Berbagi Kebahagiaan dengan Cara Unik

Metta, Karuna, Mudita, Upekkha

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Genggaman Erat Itu pun Akan Terlepas Jua

11 April 2023   15:03 Diperbarui: 11 April 2023   15:07 779
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lama aku terbelenggu, menuntut  diri lepas untuk mencari hubungan sejati tanpa embel-embel. Seperti terlihat jelas dari foto yang aku jadikan latar belakang tulisan ini .

Melihat genggaman erat digambar itu, menimbulkan keinginan kuatku untuk kembali menulis. Mencurahkan sesuatu yang terbelenggu di dalam pikiranku. Aku menghabiskan banyak waktu terbuang percuma hanya untuk mencari jawaban dari kekosongan yang aku rasakan. Ternyata aku tersadarkan semua kekosongan itu adanya didalam, bukan diluar diri. Dan perlu aku kupas tuntas perlahan tapi pasti.

Ada kenangan pahit yang terkubur di dalam batin ini, menggerogoti kebahagiaan. Tumbuh bagaikan akar kanker yang terus menjalar dan menghancurkan organ tubun. Tanpa sadar, aku pupuk terus dan pelihara dengan subur. Hanya sedikit usaha untuk mencegahnya bertumbuh. Aku lupa bersyukur dan menghargai kenangan manis  serta semua keberadaanku.  

Jauh didalam lubuk hatiku aku masih menyimpan kenangan pahit yang kudapatkan dari seorang yang harusnya menjadi orang yang aku hormati, role modelku. Aku berjuang keras untuk menjadi yang terbaik hanya untuk mendapatkan sedikit perhatiannya. Semua itu hanya tinggal harapan. Orang yang aku hormati itu masih bergeming dari kebekuannya. Seperti batu karang.  Aku bertumbuh dan terus berlari, berharap di suatu saat nanti mendapatkan sesuatu untuk menutupi ruang kosong itu. Sesuatu yang aku defenisikan sebagai "Genggaman Erat."

Lelah mencari, berjuang, akhirnya kutemukanlah genggaman erat itu. Dari seorang pria idamanku. Pasangan hidupku. Walau pun di awal kehidupan bersama, genggaman itu terkadang masih longgar oleh ego pasangan muda. Namun, aku tersadarkan. Itu hanya sesaat. Kami bisa saling menutupi dan memahami dengan adanya rasa cinta dan kasih yang mendalam. Sangat berbeda dengan pengalamanku yang lalu, datar tanpa tuntutan, dan tanpa rasa.

Aku tumbuh dan terus berkembang dengan genggaman erat suamiku yang selalu mengikuti kemana aku pergi. Aku menjadi orang yang bahagia, kuat, dan tangguh menghadapi hiruk pikuknya kehidupan. Sampai aku lupa dengan kata "Anicca" (selalu berubah).

Aku terlena dan terus membuat ide untuk mencari, dan mengejar kebahagiaan. Pada saatnya nanti, jika aku dan suamiku sudah lelah bekerja. Semua rencana jangka panjang itu hanya terpaku ke masa depan. Sehingga kami, terutama aku lupa untuk berada serta menikmati momen "saat ini dan sekarang."

Ketidakkekalan, perubahan yang sangat besar muncul di saat aku sedang   berlari menikmati dan memupuk kebahagiaan sementara. Dan, aku jatuh terjerembab saat genggaman yang sangat erat itu tiba-tiba terlepas secara mendadak.  

Aku tidak siap, terjatuh. Duniaku serasa hancur seketika. Aku bahkan tidak merasa jika tidak ada lagi harapan yang tersisa dalam hidupku. Aku yakin tidak akan pernah bisa keluar dari keterpurukan ini.

Aku tenggelam dalam kesedihan. Aku kehilangan. Genggaman erat suamiku akan segera lenyap. Dan, aku benar-benar tidak siap. Segala macam cara telah aku tempuh untuk mencari kebahagiaan. Di luar sana. Di luar diri. Tapi, yang kudapatkan hanyalah kebahagiaan semu.

Aku menyibukkan diriku. Mengisi penuh agendaku sembari berharap kekosongan yang kembali aku rasakan bisa menipis. Tapi, sampai lelah, dia tetap ada di sana. Menempel manis dengan bobot yang sama.

Lalu, perlahan tapi pasti, sedikit demi sedikit kesadaran akan Anicca muncul. Sesuatu yang selama ini terlupakan. Aku mengikuti retret meditasi. Di hari pertama terasa berat. Pertempuran di dalam batin sangat kuat, serangkaian kalimat meluncur deras di kepalaku, "apa yang aku cari di sini? Pulang saja, semua sia-sia. Kamu tetap tidak akan bisa bahagia."

Untungnya, bimbingan Guru bijaksana yang siap membantu membuat aku bertahan sampai akhir. Sesaat menjelang pulang ke rumah, tiba-tiba sebuah pencerahan muncul dari dalam diriku, "aku sudah temukan jalan pulang, di sinilah tempatku untuk kembali nanti." Jauh dari kebisingan, keindahan, kesedihan duniawi, serta kesombongan. Apalagi yang aku cari semua tidak akan  kubawa sampai tiba waktunya. Sampai aku harus pulang untuk selamanya . 

Kini, setahun telah berlalu dari retret pertama, masalah di kehidupan masih saja berlangsung. Anak-anak sudah semakin dewasa dan memiliki pandangannya sendiri. Terkadang cukup menganggu pemikiranku. Terkadang timbul kesedihan.

Kembali aku tersadar, selama kita masih bernafas, Ketika semua panca indra berfungsi normal, tantangan duniawi akan selalu mengikuti. Aku sudah punya jalan pulang, mengapa aku tidak rehat sejenak untuk pulang. Ternyata cukup lama terlupakan . 

Kembali aku mengikuti retret meditasi, kali ini bisa aku ikuti dengan lebih tenang. Ada sesuatu yang aneh, tidak ada lagi bisikan didalam batinku "kembali kerumah saja ".  

Semua berjalan dengan tenang dan damai. Lingkungan di lokasi retret terkondisikan dengan nyaman agar kita bisa fokus bermeditasi, terbebas dari kesibukan, dan rutinitas. 

Aku merasakan kedamaian yang mendalam. Ada sedikit rasa takut untuk kembali ke kehidupan sesungguhnya karena begitu tenangnya batin ini. Namun, dengan cepat kekhawatiran itu berlalu. Mengingat kata-kata Guru untuk selalu berusaha dengan tekad kuat belajar "tenang seimbang "  

Sekarang aku menyadari, aku harus selalu menyiapkan ruang kosong didalam batin, menerima segala kehilangan, kegagalan, kesedihan, karena semua tidak kekal.  

Perlahan dan pasti akan berubah, tergantikan dengan kebahagiaan. Meskipun demikian, kebahagiaan juga bukan sesuatu yang kekal. Aku menyadari, tidak boleh terlena. Kebahagiaan pun adalah anicca. Ia akan terus kembali berubah. Bagaikan sebuah genggaman. Seerat apa pun pasti akan lelah dan terlepas.

Sampai aku menemukan kembali suatu saat nanti.

Semoga aku bisa selalu tersadarkan, ingat untuk kembali pulang, rehat sejenak,  ada tempat yang selalu menanti dengan tangan terbuka di sana.

**

Jakarta, 11 April 2023
Penulis: Tjio Jolanda Santoso, Kompasianer Mettasik

Alumni IPB | Pensiunan Perusahaan Swasta | Sekarang Ibu Rumah Tangga

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun