Apakah makna kebenaran? Secara umum berarti keberadaan yang sesuai dengan fakta yang ada, bisa dibuktikan, baik secara langsung maupun dengan cara-cara yang lebih spesifik. Dalam sudut pandang lain, kebenaran berarti suatu hal yang bisa dijadikan acuan dalam kita menjalankan kewajiban ataukah terkait hak yang semestinya kita dapat.
Akan tetapi, tidak bisa dihindari kalau setiap pribadi memiliki sudut pandang kebenarannya masing-masing, terkait dengan latar belakang karakter, budaya, tradisi, serta sistem keyakinan yang dianut.
Dalam Buddhisme sendiri, kebenaran biasa dibagi menjadi dua, yakni: kebenaran secara kesepakatan, yakni yang berlaku sesuai waktu dan tempatnya; serta kebenaran yang tidak terbatas waktu dan tempat. Apakah yang disebut sebagai kebenaran yang yang tidak terbatas waktu dan tempat ini? Segala sesuatu, setidaknya di dunia ini, memiliki tiga ciri umum, yakni: tidak kekal, sukar bertahan, dan bukan diri.
Dengan memahami kebenaran sesuai konteksnya, seseorang bisa mengembangkan pelatihan yang sesuai dan menjadi sosok yang disebut sebagai "pelindung kebenaran". Akan tetapi, jika salah memegang kebenaran, meskipun secara konsep itu adalah "kebenaran yang tidak terbatas waktu dan tempat", tidak bisa disebut sebagai pelindung kebenaran, dan malah berpotensi memunculkan prahara di dunia.
Lantas bagaimanakah agar kita tidak sampai salah memegang kebenaran, sehingga menjadi pelindung kebenaran? Pertama-tama kita harus memahami dulu, bagaimana pandangan akan kebenaran ini bisa muncul dalam diri seseorang. Sesungguhnya setiap orang memiliki kecenderungan berbeda, di samping benar-benar mengetahui, seseorang dapat juga berangkat dari lima hal, yaitu: keyakinan, kegemaran, tradisi turun-temurun, pemikiran sendiri, atau hasil pemantapan pandangan melalui observasi langsung.
Seseorang bisa menjadi pelindung kebenaran ketika memiliki keyakinan dan mengatakan bahwa, "Inilah yang saya yakini." Sebatas itu, tanpa perlu memunculkan anggapan bahwa, "Maka inilah yang paling benar." Bersebab, ketika ada anggapan bahwa apa yang diyakini oleh dirinya sendiri yang paling benar, dia akan sulit menerima kebenaran dari sudut pandang yang lain. Terlebih, yang dia yakini itu bisa benar, bisa juga salah paham. Demikian juga dengan poin-poin yang lainnya. Dalam sudut pandang lain, hanya seseorang berpandangan keliru yang memaksakan keyakinannya kepada pihak yang lain.
Meskipun demikian, bukan berarti pula kita harus menjadi seseorang yang menerima semua konsep sebagai kebenaran sehingga tidak memiliki sikap dalam memilah. Karena, setiap ajaran bisa memberikan sudut pandang berbeda. Yang belum tentu cocok dengan agama sendiri. Ini adalah murni pertimbangan subjektif.
Tidak ada masalah bahwa ada perbedaan pandangan, serta tidak harus semua sama pandangan dengan kita, khususnya jika memang menganut keyakinan berbeda. Hanya saja, ketika kita menganut keyakinan tertentu, semestinya berupaya meluruskan pandangan sendiri sesuai dengan sistem ajaran yang dianut.
Sebagai simpulan, tidak terbiaskan dengan pandangan yang tidak sesuai keyakinan pribadi. Namun, tidak juga lantas merendahkan pandangan yang dianggap tidak sesuai tersebut. Saling memahami, saling menghargai, tetapi tetap teguh dalam berprinsip. Inilah jalan tengah.
**
Jakarta, 24 Maret 2023
Penulis: Bhikkhu A.S.K. Thitasaddho, Kompasianer Mettasik
Praktisi Dhammavinaya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H