Mendengar kata KEBENARAN, aku bergeming dalam kebisuan, ini kata yang terlihat sangat gambling, tapi agak sukar untuk dibuktikan, lah ... kok bisa?
Siapakah yang dapat membuktikan KEBENARAN yang sesungguhnya? Ada celah abu-abu disana, karena setiap orang mempunyai sudut pandang yang berbeda, dalam suatu pemasalahan. Menurut A cara penyelesaian yang benar adalah seperti ini, sedangkan menurut si B, harus diselesaikan dengan cara begitu. Contoh yang paling mudah, soal rasa, sepiring gado-gado dengan lima biji cabai tidak terasa pedas bagi si pencinta pedas, tetapi merupakan kobaran api di lidah buat si pembenci pedas. Dapat dipastikan dia langsung mengap-mengap saat gado-gado itu masuk ke mulutnya, dan sesegera mungkin mencari air minum untuk melenyapkan rasa pedas itu.
Jelas disini ada kebenaran yang berbeda-beda dalam menilai rasa cabai, itu baru tentang lima biji cabai dalam sepiring gado-gado yang disantap oleh dua orang yang berbeda, belum mencakup keseluruhan fenomena hidup ini.
Kadar kebaikan yang kita torehkan di dalam buku kehidupan kita juga seakan sudah memenuhi syarat kebajikan, benarkah demikian? Apakah kita sudah benar-benar baik, berhati lurus? Apakah perbuatan baik yang kita lakukan itu sungguh-sungguh dilandasi keikhlasan? Ataukah terselip sepotong pamrih di baliknya?
Kebenaran yang sejati terletak dalam nurani kita yang terdalam, dan hanya kita sendiri yang tahu dan mengerti tentangnya. Perkataan dan perbuatan kita terselimut dalam pikiran, begitu semu dalam bias-bias "ke-aku-an" kita. Oleh karena itu janganlah terkabur akan pujian-pujian atau ngelangsa saat menerima celaan-celaan.
Kita harus benar-benar membuktikan apakah semua pujian atau celaan itu cocok buat kita atau tidak. Jangan terlalu kejam pada diri sendiri, tetapi hendaklah selalu bermawas diri dengan tidak mengabaikan sinyal-sinyal yang diberikan orang terhadap kita.
Luangkan sedikit waktu untuk merefleksi perbuatan kita sepanjang hari, mulai dari saat bangun sampai menjelang tidur. Renungkanlah dan berjanjilah pada diri sendiri, esok kita akan menjadi lebih baik dari hari ini. Terkadang karena keegoisan, kita rela mengingkari kata hati kita, dan dengan mudah menyetujui semua perbuatan berdasarkan kacamata kita sendiri. Menghalalkan, memaafkan perbuatan yang dapat menyebabkan orang atau mahkluk lain menderita hanya berdasarkan sudut pandang yang penuh "ke-aku-an" yang salah.
Kebenaran akan tercipta saat kita hidup berkesadaran penuh. Untuk itu dikala kita sedang merasa dihinggapi perasaan kesal, kecewa beserta teman-temannya, tegurlah dia dengan penuh Metta: "Hai ... aku sedang apa? Mengapa harus kupikirkan celaan dan hinaan darinya? Kalau mereka bisa berbahagia dengan menghinaku, biarkanlah, karena aku sadar aku hanyalah kumpulan dari beberapa unsur saja, yang kesemuaannya bukan aku. Engkau tidak dapat mencela, memaki dan menghina unsur-unsur tanah, air dan udara yang membentuk diriku."
Kalau mau membicarakan soal kebenaran, ada "KEBENARAN" yang hakiki, dapat dibuktikan dan berlaku untuk semua orang secara universal menurut Ajaran Buddha adalah Empat Kesunyataan Mulia yang isinya:
1) Kebenaran tentang adanya Dukkha (Dukkha); Berpisah dengan yang dicintai dan berkumpul dengan orang yang dibenci adalah dukkha
2) Kebenaran tentang Sebabnya Dukkha (Dukkha Samudaya)
3) Lobba (keserakahan), Dosa (Kebencian) dan Moha (Ketidak-tahuan) adalah penyebab dukkha
4) Kebenaran tentang Lenyapnya Dukkha (Dukkha Niroda)
Dengan bersenjatakan Jalan Mulia Berunsur Delapan disertai dengan keteguhan menjalankan Sila kita dapat menghilangkan Lobba, Dosa dan Moha, dan lenyaplah dukkha
Kebenaran tentang Delapan Jalan Menuju Akhir Dukkha (Dukkha Niroda Gamini Patipada Madda)Â yang meliputi :
- Pengertian benar
- Pikiran benar
- Perbuatan benar
- Ucapan benar
- Mata pencaharian benar
- Konsentrasi benar
- Perhatian benar, dan
- Daya upaya benar
Dengan melakukan kedelapan Jalan yang telah ditunjukkan oleh Guru Agung kita, Buddha yang Maha Suci, disertai dengan menjalani Panca Sila Buddhis dengan sungguh-sungguh, niscaya kita dapat mencapai Nibbana, yang merupakan impian setiap insan yang sadar.
Sungguh beruntung kita mengenal Buddha Dhamma yang memberi petunjuk dengan sangat jelas agar kita dapat hidup dalam BrahmaVihara yang mempunyai empat pilar, yaitu Metta, Karuna, Mudita dan Upekha, hidup di dunia bagaikan di surga. "Oh ... nikmatnya, hidup senang, mati tenang," kata Ajahn Bram.
Yuk kita jadikan Kebenaran Empat Kesunyataan Mulia dan Pancasila Buddhis sebagai pegangan hidup kita sehari-hari dan jangan lupa baca mantranya:
Semoga Semua Mahkluk Hidup Berbahagia
**
Jakarta, 04 Maret 2023
Penulis: Sumana Devi, Kompasianer Mettasik
Hidup Harus Penuh Sati, Setiap Saat Diamati
  Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H