Umumnya orang baru berpaling pada agama ketika mengalami kebuntuan logika. Kesadaran akan adanya hal-hal diluar kendali baru muncul ketika nalar bertekuk lutut. Ketajaman analisa tidak ada gunanya ketika keuntungan/kebaikan bukan jadi dasar keputusan. Ketakutan berkuasa ketika pertanyaan tidak terjawab --Â Aku tidak tahu.
Aku tidak tahu kenapa mereka tidak menyukaiku. AKu tidak tahu bagaimana membahagiakan dia. Aku tidak tahu apa yang mereka mau. Aku tidak tahu sampai kapan dia akan di sisiku. Aku tidak tahu bagaimana caranya melindungi mereka selamanya. Aku tidak tahu apa kondisi ini (pekerjaan, bisnis, keharmonisan rumah tangga...dll) akan bertahan selamanya. Aku tidak tahu kapan segala yang kumiliki ini akan rusak atau hilang. Aku tidak tahu kapan aku akan mati. Dengan segala kemajuan iptek di segala bidang kehidupan hingga detik ini, pertanyaan-pertanyaan itu tidak terjawab.
Aku tidak tahu
Dalam ketidaktahuan orang ketakutan. Dalam ketakutan adalah alamiah orang mencari perlindungan. Tapi perlindungan seperti apa yang bisa diandalkan untuk menjamin keberhasilan? Perlindungan seperti apa yang bisa memastikan kesejahteraan hidup? Perlindungan seperti apa yang bisa mempertahankan kebahagiaan?
Karenanya tidak berlebihan kalau saya simpulkan, orang berpaling pada agama bukan karena agama adalah jalan keluarnya. Orang berpaling pada agama karena tidak ada tempat lain untuk berpaling. Karenanya jadi fenomena umum agama diposisikan sebagai jalan keluar problem duniawi.
Bhante, kenapa ya usaha saya selalu gagal?
Romo, kapan ya saya dapat jodoh?
Ramani, saya sudah lakukan segalanya kenapa ya keluarga tidak juga harmonis?
Bhante, kenapa ya saya sakit-sakitan terus ?
Ironisnya.... eh... maksud saya untungnya... berpaling pada agama ketika hidup buntu itu adalah tindakan yang tepat. Perkara niat atau maksudnya salah kaprah akan terkoreksi dengan komunikasi. Soal kekeliruan menanyakan hal duniawi pada praktisi spiritual akan selaras dengan diskusi dan bimbingan. Berpaling pada agama saat hidup buntu itu tepat karena kalau berpaling ke selain agama pasti tambah celaka. Hal selain agama seperti Narkoba, gaya hidup duniawi alternatif, menganggap hidup itu perang yang harus dimenangkan dengan membinasakan lawan - celaka.
Berpaling pada agama saat hidup buntu itu tepat karena hidup jadi buntu ketika keyakinan runtuh oleh kenyataan. Hidup itu buntu ketika kekuasaan/kendali atas hidup itu lepas atau hilang. Ketika keyakinan runtuh dan kendali hilang, satu-satunya yang tersisa adalah harapan. Dan harapan adalah apa yang ditawarkan agama.
Lho masak cuma harapan?
Oh jangan main-main dengan harapan. Anda boleh interview veteran perang apa yang bikin mereka selamat di medan pertempuran. Anda boleh wawancara orang-orang sukses apa yang bikin mereka bertahan ketika mereka terpuruk (dan semua orang sukses itu SELALU pernah terpuruk). Sebagai buddhis renungkan apa yang bikin Siddharta bertahan di hutan, sendirian, tanpa internet?
Harapan
Buat saya kesaktian agama ada pada harapan yang dipancarkannya. Harapan itu maha dahsyat karena menumbuhkan keyakinan. Kalau keyakinan sudah tumbuh, seperti yang diteladani guru agung kita, jangankan kesejahteraan atau kebahagiaan penerangan sempurna pun bisa diraih dengan usaha sendiri (sammasambuddha).
Itulah cara agama melindungi umatnya.
Tapi jangan datang ke vihara kalau terlilit hutang. Jangan menghadap sangha kalau tervonis penyakit kritis. Jangan minta jimat pada romo biar enteng jodoh. Dalam melindungi umatnya, agama lebih mirip program diet daripada obat. Agama itu mencegah bukan mengobati. Karena kalau sudah terjadi, hidup Anda sudah dirongrong debt collector, penyakit sudah bersarang di tubuh dan well... sudah diobral pun belum ada yg tertarik membina hubungan dengan anda, dhamma bilang - Kamma dayada. Vipaka itu tidak terhindarkan. Sang Buddha sendiri pun tidak luput dari kamma beliau sendiri.
Lho, katanya kasih harapan... koq gitu sih?!?!
Sabar, baca parittanya (ABHINHAPACCAVEKKHANA PATHA) yang komplit. Selain kamma dayado ada...
KAMMA PATISARANO
Konon pernah ada wartawan iseng pergi mewawancarai Napoleon. Karena Napoleon terkenal sebagai jenderal perang yang tangguh wartawan itu bertanya, "Pak, bagaimana cara selamat dari perang kalau anda terkepung, kalah logistik, kalah jumlah, kalah persenjataan, dan tidak bisa komunikasi dengan dunia luar?"
Napoleon dengan enteng menjawab, "gampang... tentu saja saya tidak akan pernah membiarkan diri saya terjerumus dalam situasi seperti itu!"
Jadi, demikian pula hendaknya kita mencari strategi agar terlindung dari ancaman seperti itu dalam mempertahankan kesejahteraan dan kebahagiaan. Dhamma adalah strategi seperti itu. Dengan Samma Ditthi dan sati keyakinan tumbuh, dengan Samma sankappa dan vacca kebahagiaan merebak, dengan Samma kammanta kesehatan terjaga, dengan Samma Ajiva dan vayama kesejahteraan membaik.Â
Tapi Dhamma adalah strategi yang tidak hanya baik tapi luhur, agung (lokuttara). Kalau Napoleon mengusulkan pencegahan duniawi, Dhamma ajaran Sang Buddha membebaskan manusia dari segala penderitaan duniawi. Dengan Samma Samadhi, dhamma mengajarkan, berhentilah jadi jenderal. Kalau bukan jenderal tidak akan pernah berperang. Kalau tidak berperang tidak pernah perlu mengkhawatirkan ancaman terkepung, kalah jumlah, kalah logistik, kalah senjata, dan tanpa komunikasi.
Itulah perlindungan sejati
Dhamma tidak menyelesaikan masalah yang timbul. Dhamma mencegah timbulnya masalah, meniadakan perlunya penyelesaian.
Dengan harapan yang diteladani Sang Buddha yang maha suci yang telah mencapai penerangan sempurna atas usahanya sendiri (sammasambuddha), Dhamma ajaran tak lapuk oleh waktu yang mengundang untuk dibuktikan (ehipassiko) dan bimbingan para Sangha yang telah bertindak benar, lurus dan patut sehingga pantas dihormati (anjalikaraneyo), umat buddha punya tempat berlindung sejati -- Sang Tri Ratna.
Karenanya alih-alih membacakan tisarana saya sampaikan sutta pernyataan kebenaran (Saccakiriya Gatha) buat kita semua.
N'atthi me saranam annam
Buddho me saranam varam
Etena sacca-vajjena
Sotthi me hotu sabbada.N'atthi me saranam annam
Dhammo me saraanamvaram
Etena sacca-vajjena
Sotthi me hotu sabbada.N'atthi me saraa annam
Sangho me saranam varam
Etena sacca-vajjena
Sotthi me hotu sabbada.
Semoga celotehan tertulis saya ini menumbuhkan semangat yang sempat kendor, mengembalikan kepercayaan diri yang kadung melorot atau menginspirasi tujuan hidup yang sarat dengan pilihan duniawi ini...
Sabbe Satta Bhavantu Sukhitata
Semoga semua mahluk berbahagia.
SADHU.
**
Penafian
Opini dalam artikel ini meski terinspirasi ajaran Agama Buddha mahzab Theravada adalah murni buah pikir pengarang sendiri yang tidak mewakili organisasi, mahzab atau ajaran manapun.
**
Jakarta, 11 Februari 2023
Penulis: Paul Bhinneka, Kompasianer Mettasik
Pemerhati Dhamma
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H