Ditinjau dari aspek bahasa, frasa "Samvegacitta atas wafatnya ............" agaknya kurang tepat karena samvegacitta adalah kata benda. Kata samvega merupakan kata yang tidak ada terjemahannya secara pas, secara singkat dapat berarti keterguncangan batin karena sesuatu yang menggugah yang menyebabkan seseorang  menyadari ketidakkekalan kehidupan, sehingga bertekad untuk segera terlepas dari samsara. Dapat antara lain karena melihat kematian, penderitaan, tempat suci, atau dikembangkan dengan meditasi kematian (marananussati).
Ada cerita dewa Subrahma tiba-tiba kehilangan lima ratus dewi pengikutnya. Dengan mata dewanya ia melihat bahwa para pengikutnya itu telah meninggal dan terlahir kembali di neraka Avici. Dewa Subrahma merasa sedih dan kemudian melihat bahwa dirinya akan meninggal dalam tujuh hari untuk terlahir di neraka itu. Hal ini menimbulkan keterguncangan batin yang hebat, ketakutan dan kengerian. Maka ia segera menemui Sang Buddha untuk memohon agar diberitahu jalan pembebasan. Dengan nasihat Sang Buddha maka iapun dapat terbebas dari ketakutan itu dan mencapai tingkat kesucian pertama.
Dalam kehidupan terkadang terjadi 'samvega kecil'. Katakanlah ada seorang ayah yang malas, tidak mau bekerja atau mencari nafkah sehingga kehidupan keluarganya menjadi sangat susah. Suatu kali anaknya yang berusia beberapa tahun mendekatinya, menangis dan berkata lapar karena tidak ada makanan lagi di rumah itu. Melihat anaknya menderita seperti itu, hati si ayah menjadi terguncang hebat dan di saat itu timbul tekad akan bekerja keras demi anaknya itu.Â
Citta berarti kesadaran, dalam Bahasa Indonesia bertransformasi menjadi cita dan dipakai dalam berbagai kata seperti sukacita atau dukacita. Jadi samvegacitta berarti kesadaran samvega, kesadaran keterguncangan batin yang merupakan kata benda. Karena kata benda maka menjadi tidak tepat dipakai dalam ungkapan 'Samvegacitta atas wafatnya.........' Menjadi tepat kalau berbentuk kata kerja atau kata keadaan, misalnya 'Bersamvegacitta atas wafatnya ......' yang bermakna atas wafatnya .........maka timbul kesadaran samvega dalam diri.Â
Di negara lain istilah samvega juga dikenal berkaitan dengan meninggalnya seseorang. Dapat dijumpai kalimat 'it is with great samvega that we have mourned the passing away of ..........'Â Sebagai catatan, bila dicari di google tidak ditemukan istilah samvegacitta dari negara lain, hanya ada di Indonesia. Dan kini dipakai sebagai subsititusi dari kata dukacita.
Ada satu waktu umat Buddha dianjurkan tidak mempergunakan frasa 'Turut berdukacita' atas wafatnya seseorang. Mungkin agar tidak mengembangkan duka sebagai bentuk batin yang tidak positif, ada juga yang mengatakan tidak tepat kalau memang tidak ikut berduka cita........
Sebagai manusia biasa (puthujjana) yang belum terbebas, tentu tetap mengalami duka (dan suka) dalam menjalani kehidupan. Jadi wajar saja apabila berduka saat kematian seseorang yang dicintai atau dihormati. Wajar saja keluarga yang ditinggalkan berduka, wajar juga teman dan handai taulan ikut merasakan duka yang dialami mereka yang ditinggalkan.
Para dewa pun berduka saat Sang Buddha mencapai Parinibbana. Jadi sebagai umat awam sebenarnya tidak masalah mengucapkan Turut Berduka Cita atas wafatnya ......... sebagai pernyataan simpati kepada yang ditinggalkan.
Di negara lain umat Buddha tidak menghilangkan aspek duka dalam meninggalnya seseorang. Ada tulisan dari seorang tokoh Buddhis :Â 'It is with profound heartfelt sorrow that we receive the news about the passing away of ...............' (yang wafat adalah juga tokoh Buddhis).
Sabbe Sankhara Anicca terbiasa dituliskan berkaitan dengan meninggalnya seseorang, baik di surat kabar atau pada karangan bunga duka atau amplop duka. Tulisan itu baik sekali untuk mengingatkan bahwa segala sesuatu tiada yang kekal. Bisa juga dituliskan kalimat yang senada seperti Anicca Vata Sankhara  atau Vaya Dhamma Sankhara (ini kata-kata terakhir Sang Buddha sebelum Parinibbana: Vaya Dhamma Sankhara, Appamadetha Sampadetha).
Kalau di Barat ada RIP (Rest In Peace -- Beristirahat dalam Damai), umat Buddha boleh juga menuliskan yang setara yaitu Sugating Upapajjatu (Semoga Terlahir di Alam Bahagia).Â
Tulisan berikutnya dalam karangan bunga menunjukkan 'kedekatan' dengan yang meninggal dan keluarganya. Kalau yang meninggal kurang begitu dikenal misalnya ayah seorang teman yang tinggal di kota lain, mungkin dapat dituliskan ungkapan: 'Turut Berkabung atas wafatnya Bapak ..........'Â
Kalau yang meninggal dan keluarganya dikenal baik sehingga merasa turut berduka maka dapatlah dituliskan :'Turut Berdukacita atas wafatnya........' atau 'Turut Berbelasungkawa atas wafatnya ......'
Kalau yang meninggal merupakan orang yang sangat dihormatinya dan kematiannya menimbulkan samvega seperti dalam pengertian di atas maka dapat dituliskan di karangan bunga atau di amplop duka: 'Bersamvegacitta atas wafatnya ........'
Kalau mengetahui dalam batin keluarga yang ditinggalkan timbul samvega boleh ditulis 'Turut Bersamvegacitta atas wafatnya ......' Kalau dalam batin keluarga yang ditinggalkan tidak timbul samvega, tentu tidak bisa menuliskan Turut Bersamvegacitta..........lha nurut siapa?Â
**
Jakarta, 10 Februari 2023
Penulis: Dharma Kumara Widya, Kompasianer Mettasik
Menghormat dan Rendah Hati
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H