Begitu juga Pasal 27 ayat 3;
"Setiap Warga Negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara."
Nah, bagaimana jika ada upasaka upasika yang ingin menjadi tentara, sementara ia telah bertekad untuk menghindari diri dari Pembunuhan , atau Penganiayaan terhadap Makhluk hidup?
Tentu saja, ini adalah dua hal yang berbeda. Seseorang merasa terpanggil bergabung dalam korps militer tentunya dengan sebuah tujuan mulia; Membela kepentingan Nusa, Bangsa, Tanah Air Tercinta. Jika perlu maka ia wajib mempertahankan mengangkat senjata dalam menghadapi musuh yang menyerang negara kita. Dan jika dalam keadaan terdesak, tidak tertutup kemungkinan juga ia akan membunuh - atau dibunuh.
Piye to?
Yang pertama harus diingat. Menjadi tentara bukan hanya sebagai pasukan yang berada di garis depan saja. Masih ada beberapa pos yang juga tidak kalah penting, seperti tenaga paramedis, bagian administrasi, atau teknisi. Kecuali bukan dalam keadaan darurat, tidak ada aksi tembak menembak.
Yang kedua. Kalaupun seorang umat Buddha berada pada divisi unit tempur yang harus lebih dahulu maju berperang, belum tentu ada peperangan. Bersyukurlah kita tinggal di Indonesia, negara yang penuh kedamaian. Pun halnya dengan politik luar negeri kita yang bebas aktif. Perang terbuka dengan negara lain adalah opsi yang terakhir.
Yang ketiga. Jika karena sesuatu hal, umat Buddha yang menjadi tentara harus berhadapan dengan situasi hidup mati. Mereka terpaksa melakukan pembunuhan. Tidak boleh tidak. Seperti apakah itu?
Kembali lagi kepada cetana atau kehendak/niat. Dalam ajaran Buddha, sebuah perbuatan yang baik atau tidak baik sangat ditentukan dari kehendak. Karma yang dihasilkan oleh seseorang yang membunuh karena membela negara tentu saja berbeda dengan karma yang dihasilkan oleh seseorang yang membunuh dengan penuh kebencian.
Nah, mengacu kepada ketiga alasan ini, kembali lagi kepada seorang umat Buddha, apakah ia bersedia atau tidak bersedia untuk memilih tentara sebagai profesinya. Menjadi tentara tentunya tidak dilarang dalam agama Buddha. Sepanjang pemahaman Dhamma cukup terpenuhi, maka seharusnya seseorang bisa lebih mengurangi perbuatan buruk, baik melalui kata, tindakan, ataupun pikiran.
Pada akhirnya semua akan kembali kepada Hukum Karma. Alias hukum sebab akibat yang mengkondisikan kita untuk menjadi seperti diri kita. Akan tetapi, harus diingat bahwa kita juga memiliki kuasa untuk memperbaiki karma kehidupan kita.