Sebagai manusia, kita tentunya mempunyai ketakutan-ketakutan dalam menghadapi hidup ini, oleh karena itu kita berusaha untuk mencari perlindungan agar kita selamat dari permasalahan atau bencana. Kita mencarinya ke segenap penjuru dengan segala daya upaya. Perasaan takut datang,  tercipta dari keinginan-keinginan, ketidak-tahuan bermuara  kegelapan batin berlumur Lobha, Dosa dan Moha.
Lobha membuat kita terlahir di alam peta, dosa akan mengirim kita ke alam neraka, moha menyebabkan kita terlahir di alam binatang, semuanya terasa begitu mengerikan jika dibayangkan apalagi kalau harus kita alami. Sungguh sangatlah sulit agar kita dapat terlahir di alam manusia.  Begitu sulitkah? Ya ... sungguh-sungguh teramat sulit kalau hati dan pikiran kita masih dipenuhi kekotoran batin, kita akan terus berputar-putar dalam roda samsara.
Apakah ada jalan untuk mendapatkan Perlindungan Sejati untuk diri kita, kemana kita harus mencarinya? Keluar masuk Vihara, memasang segenggam dupa, berjunjung jari dihadapan Rupang Buddha, atau melantunkan Paritta seperti orang sedang kumur-kumur? Atau, berburu Amulet untuk perisai diri? Mengapa kita begitu tidak percaya diri sehingga harus mencari perlindungan dari luar diri kita?
Seperti yang pernah kudengar dari ceramah Bhante Uttamo dengan menjalankan Pancasila Buddhis, berarti kita berlindung pada Sang Tiratana, kedengarannya begitu mudah, tetapi benarkah demikian? Ke-lima sila yang dapat kita jadikan perlindungan diri memang sangat mudah dihafalkan, lancar diucapkan, tapi benarkah demikian adanya, bisakah kita menjalankannya dengan baik dan sempurna? Tidak se-simple itu kawan. Â
Ayo mari kita bedah satu persatu dan belajar jujur pada diri sendiri, benarkah kita sudah melaksanakan Sila dengan baik dikehidupan kita sehari-hari?
Sila pertama : Aku bertekad melatih diri menghindari pembunuhan makhluk hidup.
Kita dapat menghindari pembunuhan apabila kita dapat menghargai kehidupan dan menyadari semua makhluk berhak untuk hidup, namun apa yang kita lakukan terhadap binatang-binatang kecil yang tak berdaya, seperti nyamuk misalnya, tangan ini lebih sering bertindak tanpa aba-aba, kita begitu cekatan.
Menepuk seekor nyamuk yang hinggap di anggota tubuh kita tanpa rasa belas kasih, padahal serakus-rakusnya nyamuk itu mengisap darah kita, tidak akan dapat menyengsarakan diri kita. Paling banter ada rasa gatal, yang segara hilang jika diolesi minyak kayu putih. Semua ini karena kebencian lebih mengakar daripada rasa cinta kasih, oh ... betapa sadisnya engkau wahai manusia. Â Â
Sila kedua: Aku bertekad melatih diri menghindari mengambil barang yang tidak diberikan alias mencuri.
Ini lebih sering terjadi tanpa kita sadari, hal-hal sepele yang dapat menjuruskan kita keperbuatan mencuri, seperti saat kita memerlukan sesuatu milik orang lain, walaupun kita kembalikan, tetapi kita telah memakainya tanpa izin si pemiliknya. Kadang kita melakukannya dengan santai dan merasa sah-sah saja.
Sila ketiga: Aku bertekad melatih diri menghindari perbuatan tidak suci
Perbuatan tidak suci, bisa dilakukan oleh pikiran, sedetik saja terlintas pikiran kotor, bisa membuat kita melanggarnya, maka setiap saat kita harus menjaga pikiran dan melatihnya untuk selalu sadar akan apa yang kita lakukan saat ini.
Sila keempat: Aku bertekad melatih diri menghindari ucapan yang tidak benar.
Aha ... ini yang paling sering kita langar, disaat bercanda kita bisa asal berucap, mungkin juga terselip bualan-bualan yang tak perlu, sedangkan disaat kita marah akan terucap kata-kata kasar, lalu tanpa kita sadari tersemburlah dari mulut kita, koleksi binatang-binatang dari yang bisa dipites sampai yang dapat mengonggong, sungguh sulit menjaga lidah yang tak bertulang ini melakukan aksinya.
Sila kelima: Aku bertekad melatih diri menghindari minuman keras yang dapat menyebabkan lemahnya kesadaran.Â
Menurutku, ini paling berbahaya, karena di saat kita kehilangan kesadaran, maka dengan mudah kita dapat saja melakukan ke-empat sila diatas tanpa rem.
Aku pernah silang pendapat dengan salah seorang Bhikkhu, karena bagiku, jika minum tanpa mabuk dan ketagihan, itu tidak melanggar sila. Perdebatan itu tidak menghasikan solusi untukku, sampa tanpa sengaja aku tercerahkan oleh ceramah salah seorang Lungpo (Bhante Thailand) yang menceritakan tentang pengalaman mati surinya tentang kebiasaannya minum disaat beliau belum menjadi anggota Sangha. Aku beruntung dapat tersadarkan.Â
Jujur dari kelima sila itu yang paling sering kulanggar adalah sila ke-empat, karena aku tuh orang yang super-duper iseng, karena keisenganku tanpa  kusadari  jadi sering  keluar
kebohongan kecil-kecilan saat menggoda orang, dan aku juga sangat pintar memaki, mulutku setajam silet, dan anehnya aku punya segudang koleksi julukan-julukan yang jelek-jelek, seperti kuntul edan, ular beludak, dan itu tercipta begitu saja tanpa di edit lagi.
"Huh ... Lana ... oh Lana, kok bisa-bisanya attitude jelek dibangga-banggain, malu atuh ...." Â
Mari bentengi diri kita dengan menjalankan Pancasila Buddhis sebaik-baiknya disetiap saat, agar kita dapat menciptakan perlindungan sejati nan hakiki, agar kita dapat terlahir di alam manusia yang mengenal Buddha Dhamma, bahkan menembus alam Nibbana dan tidak terlahir di alam manapun juga.
Ha ... ha ... ha ... Lagaknya kayak orang bijak, kelakuan minus, tapi itulah kehidupanku yang penuh dinamika. Kujalani hidup ini berlandaskan Ajaran Guru Agung Buddha, kuisi dengan perbuatan baik disetiap hembusan nafasku, belajar dan terus belajar membuang semua pikiran, perbuatan, dan perkataan jahat dengan selalu sadar dan mendoakan, serta mengharapkan Semoga Semua Makhluk Berbahagia.
Selalu bersyukur atas buah karmaku yang baik maupun buruk, yang penting dapat kuatasi, ingin kulunasi semua hutang karmaku agar jalan menuju Nibbana terbuka untukku.
**
Jakarta, 27 January 2023
Penulis: Sumana Devi, Kompasianer Mettasik
Hidup Harus Penuh Sati, Setiap Saat DiamatiÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H