Sudah lebih dari 50 tahun saya merayakan imlek, sudah lebih dari 50 tahun juga saya mendengarkan kisah yang sama; tentang pantangan yang dilakukan dalam menyambut Imlek.
Begitu juga dengan imlek tahun ini, Mama kembali mengingatkan;
"Ingat ya, besok tidak boleh membersihkan rumah, ingat ya tidak boleh marah-marah, ingat ya besok harus pakai baju merah."
Namun, lucunya meskipun terkesan itu-itu saja, setiap tahun selalu ada pantangan-pantangan baru yang muncul. Setiap tahun mama selalu mendapatkan informasi baru. Baik melalui bacaan di medsos, maupun kabar yang ia terima dari sejawatnya.
Mengapa? Itu karena pantangan tersebut tidak termaktub dalam undang-undang hukum surga. Ia berdasarkan penafsiran kolektif warga Tionghoa secara umum. Sangat bergantung dari pemahaman dan pengalaman pribadi. Bayangkan, berapa banyak warga Tionghoa di seluruh dunia. Jika mereka muncul dengan ide-idenya masing-masing maka ketebalan KUHP pun akan kalah jauh.
Seperti "kabar buruk" yang baru didengarkan oleh Ira, adik saya pada tahun ini, "di hari Imlek tidak boleh keramas," imbuh Mama.
Ira belum sempat ke salon, tetapi sebelum ia sempat protes, Mama masih melanjut lagi; "selama tiga hari."
Aku tahu, Ira akan tetap keramas, meskipun itu pantangan. Tentu saja ia tidak bermaksud untuk melawan perintah mama. Ia bukanlah anak durhaka. Tapi, di zaman sekarang rasanya susah untuk menerima 'petuah' tanpa adanya alasan yang 'bertuah'.
Jika demikian, mengapa tidak disampaikan saja kepada mama? Bukankah banyak kajian yang sudah tidak relevan lagi oleh zaman? Lagipula, pandangan mama yang kolot juga harus diubah, bukankah demikian?
Tunggu dulu, mama bukannya tidak tahu jika pantangan-pantangan selama imlek itu terkadang memang tidak masuk akal. Ia sudah tahu itu. Tapi, sebagai orang tua dan juga sebagai keturunan Tionghoa, ia akan keukeuh dengan pendiriannya.