Letih kuberjalan menyusuri aspal panas nan berdebu. Aku mencari jejak induk semangku, induk susu dan adikku bungsuku. Kami terpisah tanpa dapat lagi Bersatu.
Amarah serta telah kebencian membuat kami terbuang tanpa arah tertentu. Induk semangku terpaksa melakukannya sambil menangis pilu. Aku mencoba menggapai maaf dengan cakarku. Aku tau dia berusaha tegar dengan wajah membeku
Maafkan kami telah membuat hatimu teriris sembilu. Kenakalan kami merupakan kelucuan untukmu tapi tidak buat orang-orang lain di rumah itu. Sebaskom nasi dan setumpuk pakaian menjadi pemicu. Membuat kami terengut dari kasihmu
Aku rindu belaianmu
Aku ingin pelukan hangat didadamu
Aku ingin mengendus wanginya rambutmu
Aku ingin menikmati malam-malam sepi
dalam dekapanmu
Sayangnya aku tdak dapat menemukanmu
Apakah kau masih ingat padauk
Apakah kau tidak ingin bercanda lagi denganku?
Kini lapar senantiasa melilit perut,
Haus mencekik leher tanpa ada yang peduli
Terseok aku menapaki hari
Mengharap kita dapat bertemu Kembali
Tapi jalan yang kulalui seakan tak bertepi
Tak ada asa dalam pencarian ini
Haruskah aku merana lalu mati
Tak ada lagikah kasihmu bagi kami
Kuhanya berharap kita dapat bersama Kembali. Aku janji takkan nakal dan membuat hatimu hancur lagi. Tapi maukah kau menerimaku yang kurus kering penuh kudis?
Kini kujalani kehidupan kucing jalanan yang penuh cerita tragis. Mencari makan dengan mengais. Sambil menahan isak tangis
Kini aku hanyalah seekor kucing jalanan yang terlunta-lunta. Hidup bersamamu adalah kenangan terindah dalam hidupku
**
Jakarta, 30 Desember 2022
Penulis: Sumana Devi, Kompasianer Mettasik
Hidup Harus Penuh Sati, Setiap Saat Diamati
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H