Hal yang selalu menjadi pertentangan dalam tradisi Tionghoa adalah memberi persembahan makanan kepada orang yang sudah meninggal. Banyak yang nyinyir, "Emangnya hantu bisa menikmati makanan orang hidup?" Atau semacam peringatan, "memberi makan hantu, nanti didatangi lho... Ih, ngeri..."
Tapi, ada juga yang berdalih jika para hantu kelaparan bisa menikmati makanan yang disajikan. Mereka berargumen jika makanan bekas persembahan rasanya sudah berubah. "Itu karena para makhluk halus mengisap sari-sari makanan."
Lalu, ada yang membalas lagi. Kalau memang begitu, seharusnya para hantu tidak perlu menunggu untuk dipersembahkan. Toh, mereka yang kasat mata bisa saja ke supermarket dan menikmati sari makanan di sana. Bebas, tidak usah dibayar lagi...
Dan alasan logis yang mendukung adalah, makanan yang sudah bermalam pasti tidak enak. Lagipula sudah banyak abu hio yang tumpah.
Perdebatan ini akan terjadi sepanjang masa. Tiada habis-habisnya. Semuanya tergantung persepsi dan keyakinan. Bagaimana dengan umat Buddha?
Umat Buddha mengenal sebuah ritual yang disebut dengan Patidana. Bisa dilakukan kapan saja, tetapi perayaan di Vihara biasanya dilakukan menjelang imlek, saat bulan Cheng Beng, atau pada hari Ulambana (dalam Tradisi Tionghoa disebut juga sebagai Festival Hantu Kelaparan).
Dengan demikian, tidak ada pantangan bagi umat Buddha untuk memberikan persembahan makanan kepada para mendiang.
Tapi, hal ini belum menjawab pertanyaan, apakah orang yang sudah meninggal bisa menikmati makanan yang disuguhkan? Tentu saja iya, tapi syarat dan ketentuan berlaku.
Dalam Paritta Suci Catutirokudda Gatha, dituliskan bahwa seseorang yang mengenang Budi dari leluhurnya di masa lampau, patut memberikan persembahan dana kepada para mendiang.
Persembahan yang telah dihaturkan ini, bisa disajikan kepada Sangha (persaudaraan Bhikkhu), kepada fakir miskin, dan makhluk lain yang membutuhkan. Baik berupa dana, makanan, tenaga, pikiran, maupun kebajikan lainnya.