"Ini adalah sebuah perjalanan yang sangat nikmat, ayah," jawab anaknya.
Ayahnya bertanya, "Apakah anda melihat bagaimana kehidupan orang miskin?"
Anaknya menjawab: "Kita memiliki seekor anjing namun mereka memiliki lebih dari seekor. Kita memiliki kolam di rumah tapi mereka memiliki sungai. Kita memiliki bola lampu pada malam hari akan tetapi mereka juga menikmati indahnya bintang-bintang di langit. Kita membeli makanan namun mereka menanam makanan di sawah dan menangkap ikan di sungai. Kita memiliki rumah dengan tembok yang kokoh, mereka memiliki banyak teman. Kita menghabiskan waktu dengan menonton televisi dan menelusuri berita atau bermain-main game di telepon seluler yang canggih, mereka menghabiskan waktu mereka dengan keluarga dan tetangga."
Ayahnya terdiam seribu kata. Lalu anaknya menambahkan, "Terima kasih ayah, sudah menunjukkan kepada saya betapa miskinnya hidup kita ini."
Pesan moral dari cerita di atas adalah terdapat perbedaan persepsi antara si ayah dengan anaknya. Setelah sang ayah mendengar apa yang dirasakan oleh anaknya maka dia mulai terbuka dengan pandangan bahwa uang bukan segala-galanya untuk mengukur kekayaan seseorang. Sesungguhnya, kesederhanaan, cinta kasih, kasih sayang, persahabatan, nilai-nilai kasih, keluarga yang membuat hidup kita kaya.
Kita harus mendengarkan persepsi orang lain terlebih dahulu sebelum kita meminta orang lain untuk mendengarkan kita. Selain itu, selalu dan selamanya harus diingat untuk baik dalam perilaku ucapan, perilaku pikiran, dan perilaku perbuatan.
Semoga semua makhluk hidup berbahagia, sadhu...sadhu...sadhu.
**
Medan, 11 Desember 2022
Penulis: Thomas Sumarsan Goh, Kompasianer Mettasik
Long Life Learning
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H