Kisah ini dimulai dari tahun 2019 ketika saya didiagnosa mengidap kanker nasofaring (bagian hulu kerongkongan yang berhubungan dengan indra pencium/hidung). Dokter spesialis onkologi/radiologi menyarankan kemoterapi sebanyak 6 kali dan radioterapi sebanyak 33 kali. Saya segera menjalaninya karena memang sudah dalam kondisi sulit bernafas. Tiada pilihan lain bagi saya selain harus menghadapi risiko-risiko dari pengobatan ini.
Setelah menjalaninya selama satu setengah bulan, efek samping dari pengobatan ini mulai muncul. Indra pendengar (telinga) menjadi kurang baik. Akhirnya saya hanya bisa menangkap suara sayup-sayup sehingga untuk berkomunikasi dengan orang lain, saya terpaksa harus memohon kepada si pembicara untuk memperkeras suaranya. Jadi jika ada yang lewat pas sewaktu kami sedang berkomunikasi, pasti mengira kami sedang bertengkar, he he he.
Berikutnya indra penglihat (mata) yang terkena dampaknya. Sudut pandang mata kiri menyempit. Dan pada tahun 2021 kedua mata terpaksa dioperasi bergantian karena katarak. Awalnya pandangan mengabur dan setelah diperiksa oleh dokter spesialis mata, saya disarankan menjalani operasi katarak.
Lalu giliran bibir yang terkena serangan. Memang bukan indra pengecap (lidah) yang terkena dampaknya, tetapi bibir/mulut memegang peranan penting saat kita ingin mengecap sesuatu, betul kan? Waduh, ampun deh! Sepertinya serangannya datang bertubi-tubi. Dokter menyarankan operasi dengan risiko bentuk bibir menjadi kurang elok. Saya berpikir,"Tidak masalah. Toh sekarang memakai masker sedang ngetrend kok!"
Efek sampingnya yang ternyata sedikit menyulitkan. Untuk memasukkan makanan harus memakai nasopharyngeal tube (selang makanan yang dipasang melalui hidung untuk masuk ke lambung sebagai jalan masuk makanan/minuman) selama seminggu. Untung cuma seminggu, he he he.Â
Tetapi itu hanya awalnya saja. Sesudahnya makanan harus diblender seperti bubur cair karena mulut tidak boleh dibuka terlalu lebar, kuatir jahitan operasi terbuka. Nah, jadinya saya seperti bayi besar, ha ha ha, bedanya cuma saya bisa makan sendiri, tidak sampai disuapi, he he he ...
Dari penyakit ini dan ketiga efek samping yang terjadi akibat pengobatan penyakit kanker nasofaring ini seolah menyadarkan saya agar segera mengubah gaya hidup saya yang sering mengejar keinginan duniawi.
Dalam kasus ini, keinginan duniawi yang datang menggoda melalui indra pencium/hidung, indra pendengar/telinga, indera penglihat/mata, dan indra pengecap/mulut yang menimbulkan kemelekatan sehingga sulit melenyapkan ketiga akar kejahatan, yakni dosa/kebencian, lobha/keserakahan, dan moha/kebodohan demi tercapainya kebahagiaan tertinggi/Nibbana.
Nah, bagaimana caranya untuk mengikis keinginan duniawi tersebut dengan cara yang asyik? Ayo kita bahas bersama!
Pertama, indra pencium (hidung) yang biasanya saya gunakan untuk mencium aroma masakan yang lezat, mencium wangi bunga, parfum, dan lain-lain, saya alihkan untuk kegiatan meditasi dengan menggunakan nafas masuk dan nafas keluar sebagai obyek meditasi. Pikiran menjadi tenang dan tidak melekat pada keinginan indriawi.
Kedua, indra pendengar (telinga) yang selama ini saya gunakan untuk mendengar lagu-lagu pop, mendengar pujian dari orang, dan lain-lain yang enak didengar, saya gantikan dengan mendengar wejangan dari Bhante dan Dhamma talks yang bisa meningkatkan keyakinan kita kepada Buddha, Dhamma, dan Sangha.
Ketiga, indra penglihat (mata) yang dulunya saya gunakan untuk melihat cowok-cowok tampan, he he he, barang-barang yang bagus, menonton film, membaca novel, dan lain-lain, saya alihkan untuk membaca buku-buku yang berisi tentang ajaran Sang Buddha (dhamma). Jadi kita konsentrasikan kepada penelaahan dhamma/dhamma vicaya.
Keempat, indra pengecap (mulut) yang sering saya gunakan untuk menikmati makanan lezat, minuman segar, bernyanyi, bergosip ria, dan lain-lain, saya ganti fungsinya dengan cara mengubah pola makan yang menunya lebih banyak sayur-sayuran dan buah-buahan segar, meminum jus sayur-sayuran mentah, membaca paritta, dan sebagainya.
Sebenarnya ada satu hal lagi yang ingin saya lakukan, tetapi saya sangsi apakah ada yang bersedia menerimanya? Apakah itu? Saya ingin memberikan senyuman terindah kepada siapapun yang bersedia menerimanya.
Bersediakah Anda? He he he ...
Terima kasih saya ucapkan kepada siapapun yang bersedia menerima senyuman terindah dari saya.
Nah, bukankah lebih baik bila kita menggunakan indra kita untuk mengikis keinginan duniawi yang menyebabkan kemelekatan demi tercapainya  kebahagiaan tertinggi?
Selamat mencoba!
**
Medan, 28 November 2022
Penulis: Tania Salim, Kompasianer Mettasik
Be Grateful! Be Happy! Be Strong!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H