Kutatap lembayung senja nan merah merona
Cantik, namun ada gamang disana
Semilir angin membuatku sejenak terlena
Menebar sepi dalam indahnya pesona
Waktu berlalu begitu singkat tanpa aba-aba
Merasa kecewa karena tersia-sia
Ada sepotong rindu terselip di dada
Membuat resah selalu menghantui jiwa
Kurenungi hari-hari yang telah pergi
Dalam gundah-gulana penuh ironi
Seribu harap meniti tanpa henti
Namun kerikil-kerikil tajam menghujam mimpi tak bertepi
Kupandangi diriku dicermin ...
Tampak sendu dan kusam seperti kurang vitamin
Kucoba tersenyum dalam batin
Namun terasa beku dan dingin
Kemanakah hangatnya cinta kasih yang selama ini menghuni jiwa ?
Kucoba tertawa dalam hati yang penuh luka
Menangis pun sudah tak ada lagi air mata yang tersisa
Kuendus dukaku dalam suka
Aku tersadar betapa bodohnya diri ini
Mengapa harus memikirkan yang telah pergi, dan ....
Mengharap yang belum pasti
Padahal hidup dimasa kini begitu berarti
Akan kulalui hari-hariku dengan wajah berseri
Kutebarlah kasih dari dalam lubuk hati
Kan kunikmatil sisa hidupku dengan penuh arti
Kubuang jauh-jauh sikap iri dan dengki
Hati, pikiran dan jiwaku tak pernah berhenti
Untuk mengulang mantra sakti nan abadi
Semoga semua makhluk hidup berbahagia
**
Jakarta, 20 November 2022
Penulis: Sumana Devi, Kompasianer Mettasik
Hidup Harus Penuh Sati, Setiap Saat Diamati
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H