Mohon tunggu...
Kompasianer METTASIK
Kompasianer METTASIK Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis itu Asyik, Berbagi Kebahagiaan dengan Cara Unik

Metta, Karuna, Mudita, Upekkha

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Balada Martabak Bersemut dan Perasaan Welas Asih

16 November 2022   04:33 Diperbarui: 16 November 2022   04:45 403
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Balada Martabak Bersemut dan Perasaan Welas asihku (gambar: rentokill.co.id, diolah pribadi)

Sambil berkendara, dua potong martabak yang kutaruh di sebelah bangku kemudi membuatku penasaran. Di setiap pemberhentian lampu merah, kulayangkan pandanganku pada piring martabak itu, sambil mencoba mencari-cari. Barangkali saja ada seekor semut yang mengendap-endap merayap keluar dari sela-sela lelehan coklat bercampur kacang dan wijen.

Sekilas terbit liurku membayangkan kelezatannya, namun seketika itu juga terlintas pemandangan tadi pagi. Piring martabakku dikeributi semut-semut kecil. Dasar piring yang putih menjadi berwarna merah jingga. Makhluk sibuk ini berjalan kian kemari, "oh ... tidak ..." Bagaimana caranya mengusir puluhan, mungkin juga ratusan semut yang berkeliaran disana.

Timbul sedikit penyesalan, harusnya martabak itu langsung kulahap semalam, tanpa harus kutahan-tahan. Tapi mengingat kadar gulaku sedang lumayan tinggi, aku harus mengatur pola makanku. Kutunda untuk langsung menyantapnya. Aku meletakkannya ditempat yang aman agar tidak disemuti, namun entah dari mana makhluk-makhluk kecil itu bisa mempunyai jalur menuju dan berpesta pora di piring martabakku.

Aku hanya bisa menatapnya dengan rasa kecewa, karena mengusir puluhan bahkan ratusan semut kecil sepertinya pekerjaan sia-sia. Kalau dulu sudah pasti kubakar dengan kertas yang kupilin-pilin sehingga menyerupai obor, atau kutaruh diuap panas panci kukusan. Alhasil semut-semut itu akan mati. Lalu dengan jurus kesabaran dewa, kucari bangkai-bangkai semut yang berbau sangit itu satu persatu.

Tapi, pagi itu tidak kulakukan. Rupanya rasa cinta kasihku sedang dalam keadaan "on". Walaupun kesal. tapi aku tidak bersikap sadis. Sambil menghela nafas aku berbicara sendiri " oh semut-semut kecil pergilah, aku tidak mau menyakiti atau membunuh kalian, silahkan ambil sebanyak yang kamu bisa, lalu tinggalkan martabakku sekarang juga "

Setelah  berkata-kata seperti itu, aku keluar untuk memberi makan kucing-kucing liar yang pasti sudah menungguku diluar sana. Setiap hari, jam lima pagi dan jam lima sore.

Sambil memberi makan, satu persatu kuusap. Ketujuh-tujuhnya mendapat giliran. Lalu kuajak mereka bermain, ada dua ekor yang sangat manja, mereka selalu caper. Mereka adalah si bubu dan si Rungi, yang selalu bergantian minta dipangku. Tak terasa sudah tiga puluh menit bermain dengan mereka, aku pun bergegas masuk, mandi, dan bersiap-siap ke Vihara.  

Kucing-kucing itu seperti mengenal waktu, mereka tidak pernah terlambat datang ke rumahku untuk makan setiap pagi dan sore harinya. Mereka langsung menyerbuku begitu aku membuka pintu di pagi hari dan saat aku keluar dari mobil disore hari. Beberapa kali aku pulang terlambat sekitar satu atau dua jam, kucing-kucing itu sudah tidak kelihatan mata hidungnya lagi. Hebatkan ...mereka selalu tepat waktu. So ... kalau ada orang yang suka sering terlambat atau belum bisa menanggalkan jam karetnya, seharusnya mereka merasa malu sama si kucing, he... he... he...

Eh ... kok jadi ngelantur sih, malah jadi cerita kucing. Yuk... kita balik lagi ke semut-semut kecil yang sedang berpesta pora di piring martabakku. Apakah mereka masih asik mengelilingi martabakku?

Setelah selesai mandi dan berdandan ala kadarnya, aku langsung mengambil obat  yang rutin kuminum setiap paginya. Kulirik piring martabakku dan ternyata, sim ...salabim, tak tampak seekor semut pun disana. 

Apakah semut-semut itu benar-benar telah pergi atau terperangkap dalam coklat yang pekat hitam. Apabila begitu adanya, ugh ... rasanya pasti jadi aneh, pedas-pedas gimana gitu. Ach ... pokoknya jadi tidak enak dilidah.

Kuraih piring itu sambil mencari-cari. Kuangkat, kutiup-tiup, tetapi ... Ajaib, tak ada seekor pun yang nampak. Ternyata mereka tahu diri juga, nurut kata, dalam waktu sekitar empat puluh lima menit mereka sudah angkat kaki.

Aku bersiap berangkat ke Vihara, dengan santai kumasukkan semua bahan-bahan danaku ke mobil. Tak ketinggalan piring martabak yang sengaja kutaruh di bangku sebelah kemudi, agar aku bisa mengamatinya. Siapa tahu ada semut yang nonggol lagi, sungguh mati aku masih penasaran apakah semuanya sudah pergi atau masih ada yang tersisa.

Selama di Vihara pikiranku terpusat pada persiapan dana dan chanting. Semut pun terlupakan, baru dalam perjalanan dari Vihara ke kantor, dia kembali  mengusik pikiranku lagi. Dan begitu sampai dikantor aku tak sabar untuk mencicipi martabakku, apakah ada rasa semut disana? Wkkwkwkkwkkkkwkkk ....

Sebelum kusuap, aku masih mencoba mencari-cari barangkali akan kudapati semut di dalamnya. Tapi memang tak mungkin aku bisa memilahnya, karena lengket dan hitam jadi satu. Maka...  ya.... sudahlah... hap... masuk mulut. Kukunyah perlahan-lahan untuk mencari rasa lain yang aneh dalam martabakku. Dan ternyata rasa martabak yummy sampai pada gigitan terakhir tanpa ada rasa semutnya.

Kurenungi kejadian ini, apakah rasa cinta kasih dalam diriku sudah semakin menebal? Atau cuma kebetulan saja. Entahlah, karena aku bukan doctor Dolittle yang dapat bekomunikasi dengan hewan.

Dulu aku begitu sadis, tidak berkeperibinatangan sama sekali, karena aku selalu sigap menyalakan api dan membakar. Alhasil jadilah martabak beraroma sangit serasa semut.

Kalau direnungkan berapa banyak semut yang telah menjadi korban keberingasanku. Itu pun belum termasuk nyamuk, kecoa, dan serangga lainnya. Semut-semut itu pasti ketakutan melihat kobaran api dan nyamuk-nyamuk itu kesakitan tersentuh sengatan listrik. Oh ... betapa sadisnya aku? Betapa dungunya diriku merasa puas melihat makhluk lain menderita. Tak dapat kubayangkan betapa banyaknya karma buruk yang kusemaikan dalam kehidupanku.

Semoga saja dengan munculnya kesadaran ini, walaupun dapat dikatakan "terlambat," aku bisa menjadi manusia yang lebih baik lagi. Jadi kubiarkan saja semuanya berproses secara alami, mengurangi nafsu bengisku, batin pun tenang. Kesehatan semakin prima adalah bonusnya.

Kukembangkan rasa belas kasihku terhadap semua mahkluk secara alami, semoga semua mahkluk berbahagia

**

Jakarta, 16 November 2022
Penulis: Sumana Devi, Kompasianer Mettasik

Hidup Harus Penuh Sati, Setiap Saat Diamati

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun