Mohon tunggu...
Kompasianer METTASIK
Kompasianer METTASIK Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis itu Asyik, Berbagi Kebahagiaan dengan Cara Unik

Metta, Karuna, Mudita, Upekkha

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Nyamuk, Calon Korban Kebencian dan Kemarahan

8 November 2022   05:32 Diperbarui: 8 November 2022   05:33 382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nyamuk, Calon Korban Perasaan Benci dan Marah (gambar: appspy.com, diolah pribadi)

Nyamuk, siapapun yang pernah menjadi mangsanya, sebagai korban berusaha untuk membalas. Mudah sekali, tak perlu modal, tak perlu tenaga tambahan, cukup dengan gerak cepat.

Nyamuk memang kecil, tapi bukan tidak punya kemahiran. Kemahirannya adalah melihat kelengahan mangsa dan dapat bergerak dalam kesunyian dan kegelapan. Taruhannya adalah mendapat mendapat setetes darah atau dia mati.

Nyamuk juga paham, mereka tidak butuh pujian, karena banyak teman-temannya menjadi koban karena tepuk tangan.

Kemahiran inilah yang tidak disukai para mangsanya. Nyamuk bisa menghisap darah sampai gemuk tanpa disadari mangsanya.

Tetapi begitu mangsanya sadar segeralah kemarahan berhamburan. Paha yang mulus dipukul keras-keras. Sakit sebenarnya, tapi karena kemarahan besar, rasa sakit terlupakan.

Sayangnya, nyamuk sudah menyadari ada tekanan udara yang menekan dirinya. Ia sudah pasti kabur. Kedua tangan korban terus mengejar dengan kemarahan yang ditambah. Plok...!, tepuk tangan bagi nyamuk bukanlah pujian, tapi ancaman kematian. Jika terasa kena, kedua tangan digesek-gesekan untuk memastikan nyamuk yang penuh darah itu menjadi garis merah di telapak tangan.

Sayang, si nyamuk luput dari balas dendam. Ia dapat lolos terbang entah ke mana. Mata terus mencari sambil memompa kemarahan.

Terus dan terus kemarahan yang dipompakan bersama kebencian. Nyamuk terus diburu, luput dan kemarahan semakin meningkat, semakin benci. Lagi terus dan terus kebencian dipompa. Nyamuk sudah bersembunyi dengan santai di suatu tempat entah di mana.

Akhirnya capek juga tapi kemarahan sudah membakar dada. Yang dibenci tak merasakan tapi kita mengusik kenyamanan diri sendiri, kebencian yang mengusik kebahagiaan diri sendiri.

Kebencian bukan menyakiti musuh kita, tapi menyakitkan diri sendiri. Kebencian seperti tangan menggenggam dan melemparkan bara api, sebelum terlempar tangan kita sudah terbakar. Yang dibenci sedang menikmati hidupnya, yang membenci diam membakar dirinya dengan dada panas. Kebencian seperti meminum racun, tapi berharap yang dibenci hancur.

Kebencian akan membakar siapa saja yang memegangnya.

**

Jakarta, 08 November 2022
Penulis: Jayanto Chua, Kompasianer Mettasik

Programmer | Penulis Buku| Praktisi Meditasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun