Dalam beberapa sumber teks Pustaka Suci serta Pengulas, orang tua diumpamakan seperti brahma. Perumpamaan ini berdasar dari kenyataan bahwa mereka merupakan sebab terdekat kita lahir di dunia. Selain itu, pada umumya mereka memiliki empat kualitas yang disebut sebagai kualitas "kediaman brahma", yakni: cinta kasih, welas asih, apresiasi, serta memiliki keseimbangan batin.
Cinta kasih ditunjukkan melalui pengharapan baik saat sang anak masih berada dalam kandungan. Sementara welas asih mengacu kepada tindakan nyata ketika anak tersebut sudah lahir di dunia, orang tua akan mendidiknya dengan sebaik mungkin.
Ketika anak tersebut berhasil, orang tua akan berapresiasi, turut berbahagia yang merupakan kualitas ketiga. Selanjutnya, bilamana anak telah dewasa dan bisa memilih jalan hidupnya, orang tua akan tidak terlalu mencampuri urusan anaknya. Tindakan tidak ikut campur ini yang disebut sebagai keseimbangan batin.
Mengerti bahwa ada manfaat terdahulu yang telah diperoleh dari pihak lainnya, seseorang memiliki tanggung jawab dalam memberikan manfaat yang setara. Demikian seorang anak sepatutnya memiliki tanggung jawab kepada orang tua yang telah dengan jelas memberikan manfaat.
Tanggung Jawab Anak secara Umum
Merujuk Sigalovada Sutta, seorang anak sepatutnya memiliki lima tekad dalam membalas jasa orang tuanya. Secara umum, tekad-tekad inilah yang bisa disebut sebagai tanggung jawab atau kewajiban anak kepada orang tua.
Diumpamakan seorang anak melakukan penghormatan kepada orang tuanya seumpama arah timur, dengan bertekad bahwa ia akan: memberikan sokongan untuk menghilangkan beban orang tuanya, membantu kewajiban-kewajiban yang perlu dilakukan, menjaga nama baik keluarga, menjadi seseorang yang layak untuk menerima hal-hal yang diwariskan, serta mempersembahkan daksina pada waktunya orang tua sudah pergi duluan.
Kewajiban-kewajiban tersebut sepatutnya tidak menjadi sesuatu yang berat sebelah, karena orang tua yang baik sepatutnya melakukan semua yang patut dilakukan kepada anaknya, di antaranya: mencegah kesengsaraan, mengarahkan pada keindahan, mengajarkan keterampilan, membantu mencarikan pasangan yang sesuai, dan memberikan warisan pada waktunya.
Memang, perihal kewajiban-kewajiban ini perlu dimengerti dengan konteks kebudayaan pada saat itu. Sehingga, beberapa di antaranya bisa disesuaikan dengan konteks sistem sosial yang berlaku saat ini. Ada hal-hal yang terkesan lazim di masa lalu, tetapi tidak saat ini. Begitu juga sebaliknya. Terlebih lagi, ketika sang anak memilih kehidupan sebagai seorang bhikkhu, beberapa poin terasa kurang relevan.
Tanggung Jawab dari Sudut Pandang Lainnya
Dalam sudut pandang lain, ayah dan ibu dipandang sebagai sosok yang sulit dibalas jasanya. Disebutkan dalam Samacittavagga, Dukanipata, Anguttaranikaya, seandainya seorang anak membopong kedua orang tuanya selama seratus tahun sambil memijat dan sebagainya, masih belum cukup untuk membalas jasa mereka,.
Akan tetapi, balasan yang lebih dari cukup adalah ketika seorang anak dapat menumbuhkan keyakinan, kesusilaan, kedermawanan, dan kebijaksanaan dalam diri orang tuanya. Ini lebih relevan dalam setiap kondisi, termasuk ketika sang anak memutuskan untuk menjadi seorang bhikkhu. Serta, merupakan hal yang paling luhur karena mengarahkan kepada manfaat nyata.