Mohon tunggu...
Kompasianer METTASIK
Kompasianer METTASIK Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis itu Asyik, Berbagi Kebahagiaan dengan Cara Unik

Metta, Karuna, Mudita, Upekkha

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Betapa Sulitnya Mengendalikan Perasaan

2 November 2022   18:28 Diperbarui: 2 November 2022   18:28 429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Betapa Sulitnya Mengendalikan Perasaan (gambar: theplaidzebra.com, diolah pribadi)

Perasaan itu sulit dijabarkan dengan kata-kata, rasa suka dan duka silih berganti. Bahagia dan derita penuh dengan cerita, takada yang bisa bertahan lama, karena hukum alam yang penuh perubahan, inilah "anicca". Kadar kebahagiaan dan kesedihan itu berbeda-beda untuk masing-masing orang karena kondisi emosi setiap orang berbeda. Rasa syukur dan kepuasan terhadap hiduplah membuat orang itu berbahagia.

Ada banyak cara kita mendapatkan kebahagiaan, seperti selalu berfikir positif dalam menjalani kehidupan ini dan selalu bersyukur akan nikmat yang kita rasakan setiap saat. Perasaan bahagia bisa terjadi dimana dan kapan saja bahkan disaat kita dapat menemukan wc saat kita kebelet (maaf: pipis). 

Jika sudah demikian, dapat dikatakan wc merupakan ruang kebahagiaan kita saat itu karena merupakan tempat dimana kita dapat  menuntaskan tuntutan alam terhadap tubuh ini, perasaan plong dan nyaman setelah itu membuat kita seketika itu juga merasa bahagia,  he ... he ... he, 'tul gak ?

Kebahagiaan adalah idaman semua orang, dan kunci dari kebahagiaan itu sendiri adalah perasaan bebas dari dendam, iri, dan benci. Perasaan terkadang sukar untuk dikendalikan apalagi iri dan dan dengki selalu ikut ambil bagian. Walaupun sudah tahu hal itu tidak baik, namun terkadang kita tidak mampu mengendalikannya.

Perasaan itu tercipta dalam sekejap mata, misalnya selagi kita ketawa-ketiwi dengan temen yang se frekwensi, tiba-tiba lewat orang yang tidak kita sukai, maka rasa bahagia segera berganti dengan rasa sebal, apalagi kalau dia ikutan nimbrung, pasti senang berubah "meneng" alias bete.

Dan celakanya aku termasuk tipe yang sangat ekspresif, begitu melihat orang yang tidak kusukai maka wajahku langsung berubah seperti dompet tanggung bulan. Aku tahu ini tidak baik jika diberlakukan dalam pergaulan apalagi lingkungan kerja, sebenarnya aku tidak mau tapi itulah aku, aku tidak dapat mendustai perasaanku sendiri.

Pernah waktu aku ditegur oleh boss-ku karena men-jutek-in sekretaris kesayangannya, habislah aku diceramahi panjang kali lebar tentang sikapku. Untuk sesaat aku diam saja, tetapi disaat rasa kesalku sudah memuncak, langsung kupotong kata-kata boss-ku :

"Sudah selesai pak?, Jangan bawa-bawa ajaran Tuhan, karena saya masih manusia biasa yang masih diliputi dendam, iri dan benci. Lagipula kalau mau fair, panggil dia ke sini dan tanya apa yang menyebabkan sikap saya seperti ini terhadap dia."

"Dia tidak tahu berterima kasih apalagi balas budi, kerjapun gak becus cuma mengandalkan wajah dan tubuhnya saja. Yang lebih keji suka menusuk dari belakang, apa yang dia laporkan tentang kerjaan saya dan Lili?, sehingga bapak menegur kami lewat pa Robi?"

"Bapak pernah mengajarkan saya, dan selalu mengatakan mata harus ada bijinya, kuping tidak boleh tipis. Nah, ternyata apa yang  bapak katakan dan ajarkan kepada karyawan bertentangan dengan sikap bapak terhadap dia. Menurut saya sih sah-sah aja, itu hak bapak selaku boss, tapi jangan bapak mempersalahkan saya untuk hal yang tidak saya lakukan hanya berdasarkan laporan si *&%@$#^9! (maafkan ...)"

"Oh ... iya satu lagi pak, daripada bapak suruh saya kursus kepribadian, mendingan bapak tunjukkan, kasih tahu saya dimana tempat kursus cari muka."

Saking dahsyatnya perasaan benci dan tertekan, maka sekali waktu bisa meledak seperti itu. Sesaat aku lupa kalau aku adalah tulang punggung keluarga, dengan berapi-api dan tanpa pikir panjang aku balik melabrak boss-ku. Untungnya apa yang kukatakan sesuai dengan kenyataan sehingga tak ada celah bagi boss-ku untuk memecatku.

Setelah itu, rasa penyesalan datang bertubi-tubi. Andaikan aku bisa memutar waktu, aku ingin menyikapinya secara bijak. Apa daya waktu bukanlah barang mainan.

Jadi, lihatlah betapa dahsyatnya sebuah aksi jika kita hanya menuruti perasaan kita saja. Padahal jika mau dipikir, fisikku tidak tersakiti, duniaku tidak hancur, hanya perasaan saja yang terganggu.

Maka dari itu, saya selalu mencari makna kebahagiaan. Jika perasaan bisa tidak menyenangkan, ia juga bisa sebaliknya. Perasaan bahagia seperti menciptakan senyuman di keluarga kita saat menyambut kelahiran kita ke dunia ini, Juga di saat kita jatuh cinta, dunia serasa begitu indah.

Sayangnya, perasaan yang Bahagia juga tidaklah abadi (anicca). Di saat kita dihadapi penyakit, kita pasti mengeluh. Pada saat anggota keluarga kita menghadapi kematian kita lalu bersedih. Perasaan berkecamuk, tidak siap kehilangan membuat kita menangis terguk-guk. Tapi, setelah semuanya telah dilewati, perasaan itu akan terus berjalan seperti tidak pernah terjadi apa-apa.

Jadi, semua fenomena di dunia ini hanyalah permainan perasaan.

Begitu mudahnya perasaan mempermainkan diri ini, begitu bergejolak menguasai diri ini. Lobba, Dosa dan Moha akan menyelimutinya jika kita tidak hidup dengan penuh kesadaran. Salah sedikit amarah kita bisa langsung meledak. Makanya ada isitilah "senggol bacok".

Ditinggal pacar membuat kita patah hati, sampai ada yang ingin bunuh diri.

Perasaan iri berkembang jika melihat orang lain sukses, walaupun sebenarnya rasa iri itu bagus untuk memacu diri, kalau dia bisa mengapa aku tidak?

Rasa iri harus disikapi dengan positif, dan dijadikan cambuk diri agar kita lebih gigih lagi dalam memperjuangkan kesuksesan yang ingin kita raih dalam hidup ini.  

Perasaan negatif membuat kita sukar untuk menepis rasa iri melihat kesuksesan dan kebahagiaan orang lain, apalagi turut berbahagia alih-alih kita malah membencinya. Hingga terkadang menjadikan fitnah keji yang akan menambah tumpukan karma buruk.

Pada intinya, rasa bahagia itu adalah kondisi disaat hati dan pikiran kita dipenuhi oleh kepuasan dan kesenangan dengan rasa syukur yang mendalam. Kita harus benar-benar penuh kesadaran dalam mengenali perasaan kita sendiri agar dimanapun kita berada hati kita selalu senang, tenang dan damai penuh kasih sayang, jika perasaan kita sudah seperti itu berarti kita telah hidup dalam dunia surgawi.

Meskipun demikian, tetaplah sadar bahwa kebahagiaan pun tidak kekal abadi.

Namun, janganlah putus asa. Isilah terus perasaan kita dengan penuh kasih sayang terhadap semua mahkluk, semoga semua makhluk berbahagia.

**

Jakarta, 02.11.2022
Penulis: Sumana Devi, Kompasianer Mettasik

Hidup Harus Penuh Sati, Setiap Saat Diamati

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun