Mohon tunggu...
Kompasianer METTASIK
Kompasianer METTASIK Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis itu Asyik, Berbagi Kebahagiaan dengan Cara Unik

Metta, Karuna, Mudita, Upekkha

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bersedih Boleh, Berlarut Jangan

28 Oktober 2022   05:33 Diperbarui: 28 Oktober 2022   05:41 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bersedih Boleh, Berlarut Jangan (gambar: katadata.co.id, diolah pribadi)

Matahari perlahan mulai tenggelam ke arah barat. Niko sedang duduk di pematang sawah tampak termenung dan diam seribu bahasa. Terlihat banyak yang sedang dipikirkannya. Angin sepoi-sepoi dan riuh kicau burung sore itu nampak tak dihiraukannya. Tak lama kemudian pamannya yang dari tadi sibuk mengurus tanaman padinya kemudian menegur.

"Masih muda jangan banyak melamun, bersantailah dulu, besok dipikirkan lagi" ucap pamannya sembari meneguk air minum.

Niko sengaja pulang ke kampung halamannya untuk menenangkan diri. Sudah enam bulan lamanya dia di desa tempat kelahiran ibunya. Enam bulan yang lalu perusahaan startup yang dirintisnya jatuh bangkrut. Kekasih yang dicintainya meninggalkannya karena dia terlalu sibuk mengurus bisnisnya. Kini dia merasa hancur, merasa tak mampu lagi untuk bangkit.

"Yang namanya hidup naik dan turun, sukses dan gagal itu sudah suatu kewajaran." Ucap pamannya melanjutkan.

Niko hanya merespon ucapan pamannya sambil sedikit menganggukkan kepala.

"Coba kamu lihat burung-burung merpati itu" ucap pamannya sambil menunjuk ke sekumpulan merpati yang hinggap di pohon yang ranting-rantingnya nampak sudah lapuk.

Niko mengarahkan pandangannya ke arah pohon yang ditunjuk pamannya. Burung-burung itu nampak sedang hinggap di pohon tua yang ranting-rantingnya sudah kering dan tak lagi berdaun. Sesekali ada yang terbang berpindah ke tempat lain.

"Lihatlah burung merpati itu, mereka tahu kalau mereka hinggap di ranting yang kering dan lapuk kapanpun mereka bisa jatuh karena ranting itu tidak lagi mampu menopang tubuhnya. Tapi saat ranting itu patah dan burung itu terjatuh dia akan segera menyadari untuk segera terbang lebih tinggi lagi."

"Belajarlah dari burung itu, saat kamu terjatuh, gagal, bangkrut, terluka, boleh bersedih. Tapi jangan lama-lama nanti keburu jatuhnya terlalu dalam dan butuh tenaga yang lebih besar untuk terbang lebih tinggi lagi."

"Saat kamu jatuh silahkan bersedih, ambil waktu sebentar untuk merenung dan melihat kesedihan itu. Kemudian segeralah sadar dan menyadari bahwa memang itu sudah bagian dari sifat kehidupan."

"Untung, rugi, dipuji, dicela, terkenal, terabaikan, bahagia, menderita adalah hal-hal yang umum terjadi. Ketika sudah menyadari hal ini segeralah bangkit. Segeralah terbang lebih tinggi lagi untuk mencari ranting yang lain." Ucap pamannya.

"Sudah lah, sudah sore ayo kita pulang, besok kita diskusi lagi"

Sahabat, dalam menjalani kehidupan kita pasti pernah menemui kesulitan. Namun setiap kali ada permasalahan yang datang, hendaknya itu dijadikan sebagai alarm untuk bersiap bangkit lagi.

Merasa sedih, hancur, kecewa itu adalah hal yang wajar dirasakan pada saat sedang menemui masalah. Namun jika kesedihan itu dibiarkan berlarut-larut maka akan lebih sulit lagi kita untuk bangkit. Butuh tenaga yang lebih besar.

Pada saat permasalahan datang harus segera disadari bahwa memang demikianlah sifat kehidupan. Tidak satupun makhluk yang tidak pernah menemui permasalahan dalam hidupnya. Namun kita memiliki kendali atas apa yang kita rasakan.

Pilihan ada di tangan kita, memilih untuk terus bersedih hingga berlarut-larut atau menyadari kesedihan itu dan bangun untuk segera terbang lebih tinggi lagi. Sekali lagi setiap pilihan kitalah yang menentukan. Semoga demikian adanya.

**

Driyorejo, 28 Oktober 2022
Penulis: Nanang S., Kompasianer Mettasik

Pengamat Kehidupan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun