Mohon tunggu...
Kompasianer METTASIK
Kompasianer METTASIK Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis itu Asyik, Berbagi Kebahagiaan dengan Cara Unik

Metta, Karuna, Mudita, Upekkha

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Tips Mengendalikan Emosi Agar Tidak Labil

23 Oktober 2022   06:17 Diperbarui: 23 Oktober 2022   06:30 691
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tips Mengendalikan Emosi Agar Tidak Labil (gambar: tinybuddha.com, diolah pribadi)

Petugas: "Mohon tunjukkan KTP dan kartu tanda sudah vaksin."

Harun menyerahkan apa yang diminta oleh petugas untuk didata sebagai syarat registrasi di Panti Jompo.

Nama           : Harun
Umur           : 62 tahun
Pekerjaan  : Pengangguran

Demikianlah Harun tercatat sebagai penghuni kamar No. 18 di salah satu panti jompo.Mari kita  simak kisah hidup Harun, kenapa sampai harus menjadi penghuni panti jompo.

Pada masa mudanya, Harun adalah seorang yang cerdas, pernah dijuluki sebagai kamus berjalan dan pustaka berjalan karena pengetahuannya yang sangat luas.

Harun adalah seorang guru di salah satu sekolah swasta. Karena kepiawaiannya, tahun kedua sudah diangkat sebagai wakil kepala sekolah. Salah satu kebiasaan (habit) Harun adalah tidak ada kemampuan untuk mengolah, bereaksi serta mengontrol emosi dirinya terhadap orang lain, dan lingkungannya. Akibatnya Harun harus mengundurkan diri karena tidak cocok dengan pimpinannya.

Setelah itu Harun melamar di sekolah lain yang lebih besar, karena kepandaiannya, dia diterima di sekolah tersebut. Dalam hal bekerja, Harun memang menguasai bidangnya dengan baik. Namun kembali terbentur dengan kebiasaannya yang dulu, Harun ribut dengan orang kepercayaan yayasan. 

Dan ...yah .... kembali Harun harus keluar dari sekolah tersebut.

Harun mencoba mengubah haluan, dia melamar di sebuah perusahaan swasta, ingin keluar dari dunia pendidikan. Setelah diinterview, ternyata dia diterima dan mendapat posisi yang lumayan bagus di bagian produksi.

Kita tahu setiap perusahaan memiliki nilai-nilai yang harus dijalani (core value), agar perusahaan bisa berjalan dengan seimbang dan berkesinambungan. Lagi-lagi Harun terbentur dengan sikap dan karakternya. Dia tidak mampu bekerja dalam tim dan percekcokan pun dimulai. Bukan lagi mengundurkan diri, Harun dikeluarkan sebelum masa percobaan berakhir.

Harun memutuskan untuk membuka usaha sendiri, menjual mie pangsit. Waktu terus berlalu, Harun menjalani kehidupannya dengan penghasilan yang pas-pasan, mie pangsitnya tidak begitu istimewa.

Suatu hari ketika Harun hendak berbelanja, dia ditabrak mobil dan kecelakaan ini membawa perubahan yang drastis pada dirinya. Setelah bangun dari koma yang dia alami selama lebih kurang 3 minggu, Harun benar-benar shock dengan kondisinya dimana satu kakinya cacat dan salah satu matanya buta. Dia mengalami depresi berat, putus asa dan hal ini mengakibatkan kondisinya semakin parah setelah dia mengalami stroke.

Orang-orang disekitarnya baru menyadari bahwa Harun ternyata hidup sendiri, tanpa keluarga. Maka beberapa teman Harun bersepakat memasukkannya ke rumah jompo.

Apa makna cerita tersebut? Kecerdasan otak/intelektual saja tidak cukup untuk membuat seseorang mencapai kesuksesan, walaupun tak bisa kita pungkiri, otak adalah karunia paling hebat yang diberikan Tuhan kepada kita, umat manusia.

Otak dapat diklasifikasikan menjadi 2 yaitu:

Otak kiri yang berfungsi untuk menghafal/mengingat, berhitung/logika dan berbahasa. Dan sifatnya menyimpan memori dalam jangka waktu pendek

Otak kanan berfungsi untuk melakukan aktifitas, imajinasi, kreasi dan inovasi. Bersifat menyimpan memori dalam jangka waktu panjang.

Kecerdasan otak erat hubungannya dengan kemampuan kognitif, secara intelektual  bisa diukur melalui soal-soal psikotes yang biasa kita sebut IQ (Intellectual Quotient).

Apakah IQ tinggi menjamin keberhasilan seseorang?

Menurut Daniel Goleman (Dalam Dwi Sunar P. 2010;14) menyatakan bahwa kontribusi IQ dalam keberhasilan seseorang hanya sekitar 20% dan sisanya 80% ditentukan oleh faktor oleh faktor kecerdasan emosional.

Kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang untuk menerima, menilai, mengelola, dan bereaksi serta mengontrol emosi dirinya terhadap orang lain dan lingkungannya.

Sebagai contoh dalam perhitungan matematis:

Si A sangat pandai dalam bidang matematika, tetapi sangat kurang di aksi sosial, tidak ada pergaulan, selalu menyendiri dan sangat emosional.

Dia sanggup memperoleh nilai 90 pada ujian matematika, tetapi hanya mendapat nilai 20 pada sikap sosialnya, maka nilai yang diperoleh si A adalah (90 x 20%) + (20 x 80%) = 34

Kemampuan si B dalam bidang matematika biasa-biasa saja, tetapi dia sangat pandai bergaul, ramah, dan memiliki sikap sosial yang tinggi.

Nilai ujian matematikanya hanya mencapai nilai 20, sedangkan nilai sikap sosialnya 90. Maka nilai si B adalah (20 x 20%) + (90 x 80%) = 76.

Bagaimana caranya supaya kita memperoleh keseimbangan? Kita perlu mengontrol emosi kita. Mari simak bersama tips-tips dibawah ini :

Latihan meditasi dengan memperhatikan nafas masuk dan nafas keluar. Lama kelamaan akan timbul ketenangan dalam diri. Seperti air yang jernih dan tenang, kita dapat melihat sampai ke dasarnya.

Menyadari segala sesuatu yang ada  di dunia tidak ada yang kekal (Anicca Vata Sankhara). Selalu mengalami perubahan. Yakin bahwa segala masalah yang timbul pasti ada solusinya.

Melepaskan emosi negatif dengan selalu berdamai pada diri sendiri, yakni dengan memahami kepribadian diri untuk mengetahui potensi diri, baik kelemahan maupun kekuatannya. Selalu mengembangkan pikiran positif, memiliki pola pikir yang berkembang (Growth Mindset)

Selalu mencari akar permasalahan (Root Cause) karena emosi adalah signal bagi kita untuk melakukan tindakan agar dapat mengatasi penyebab munculnya perasaan tersebut.

Mengendalikan diri dan memotivasi diri sendiri agar kinerja meningkat dan berhasil dengan bidang yang kita kerjakan.

Hal yang paling sulit adalah mengendalikan diri sendiri karena pada umumnya manusia sulit menerima kekurangan diri sendiri. Selalu ada alasan untuk pembenaran. Kesombongan diri juga adalah satu satu pemicu untuk menjadikan kita menjadi labil.

Semoga tulisan ini membawa manfaat bagi kita semua.

**

Disklaimer: Nama dan lokasi kejadian adalah fiktif, jika ada persamaan hanya kebetulan belaka

**

Pangkalan Kerinci, 23 Oktober 2022
Penulis: Jansen Yudianto, Kompasianer Mettasik

Praktisi Pendidikan | Penulis

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun