Seperti halnya ketika seseorang sedang jatuh Cinta, yang melekat pada pujaan hatinya, siang malam terasa menyiksa. Siang Terkenang, malam terbayang-bayang. Bagaikan pantun cinta pertama: Darimana datangnya lintah, dari sawah turun ke kali. Darimana datangnya cinta, dari mata turun ke hati.
Manusia terdiri dari Nama (batin) dan rupa (jasmani). Kedua kesatuan hidup yang dipelihara, dirawat, dijaga, dan diperhatikan. Dengan namarupa seseorang disebut juga memiliki Salayatana. Atau enam landasan Indera, yakni Panca Indera: Penglihatan, Pendengaran, Penciuman, Pengecapan, Sentuhan, plus Pikiran.
Salayatana inilah yang menimbulkan sensasi, perasaan, kesan- kesan, imajinasi. Lalu timbullah kenikmatan (atau ketidaknikmatan), perasaan enak tidak enak, atau netral sama sekali. Tidak lupa pula kehadiran dari penilaian, yakni baik dan buruk, benar dan salah, dan seterusnya.
Jika landasan indera dapat berfungsi dengan baik, maka seseorang dapat dianggap masih normal. Begitu pula dengan sensasi-sensasi yang timbul daripadanya. Jika masih ada, maka manusia tersebut masih hidup. Â
Selanjutnya, penilaian yang muncul pun mengarah kepada sebuah kesimpulan yang lumrah. Hindari yang tidak menyenangkan, lekati yang mengenakkan.
Nah, dalam Buddhisme, sikap seperti ini bukanlah sebuah kesalahan. Ia hanya memiliki pemahamannya tersendiri. Disebut dengan Kemelekatan. Berasal dari rasa sayang, kemudian timbullah cinta. Lambat laun menjadi rasa memiliki. Ini aku, ini milikku. Sehingga jika bukanlah menjadi punyaku, maka penderitaan pun muncul.
Hakikatnya Kemelekatan itu telah ada sejak zaman dahulu kala, jauh sebelum zaman Kuda gigit besi. Salah satu yang paling legendaris disebut dengan kemelekatan kepada 3 TA (HarTA, TahTA, WaniTA). Dan jika masih terasa kurang, ada lagi 4 TA, yakni kuoTA.
Kemelekatan dalam bahasa Pali disebut dengan Samyojana. Alias belenggu, rantai, ikatan batin yang mengikat makhluk hidup di alam Samsara. Samsara sendiri janganlah dianggap sebagai hal buruk, meskipun memiliki nilai linguistik yang sama dengan kata Sengsara.
Dalam filsafat Buddhisme, Samsara adalah lingkungan kehidupan yang memiliki Dukkha. Lalu apakah Dukkha itu? Dalam pemahamannnya, Dukkha berasal dari Tanha alias keinginan yang tiada habisnya. Yang kemudian akan menimbulkan penderitaan jika tidak terpenuhi.
Lawan dari Samsara adalah Nibbana. Atau sebuah kondisi pencapaian kebebasan mutlak. Bebas dari apa? Dari kekotoran-kekotoran batin. Disebut sebagai dosa (kebencian), lobha (keserakahan), beserta Moha (kebodohan batin) yang berasal dari keinginan-keinginan tanpa henti.
Samsara adalah sebuah tantangan. Semacam reality show di zaman televisi nasional masih membahana. Jika berhasil ada hadiahnya, jika tidak juga tidak apa-apa. Hanya sebuah tulisan; Anda belum cukup berusaha.
Sebabnya Samsara memang sulit untuk ditaklukkan, meskipun tidak mustahil. Bukan hanya terhadap umat biasa saja, para Samana pun menghadapi kondisi yang sama. Seperti dalam riwayat kehidupan Sang Buddha, ada seorang Bhikkhu yang sangat terikat pada jubahnya yang disayangi. Kemelekatan itulah yang membuat Bhikkhu tersebut terlahir sebagai kutu.
Lalu apa solusinya?
Lakukanlah perenenungan terhadap namarupa, batin dan jasmani kita. Caranya: Rupa Aniccang (bahwa jasmani tidaklah kekal), Sanna Aniccang (bahwa persepsi tidaklah kekal), Vinnanang Aniccang (bahwa kesadaran tidaklah kekal), dan Vedanang Aniccang (bahwa perasaan juga tidak kekal).
Semoga dengan melaksanakan praktik Dhamma yang baik, kita memperoleh kemajuan dan Kebahagiaan.
Semoga semua makhluk hidup Berbahagia, Sadhu. (STD).
**
Tangerang 19 Oktober 2022
Penulis: Setia Dharma, Kompasianer Mettasik
Dharmaduta | Penulis | Dosen |Trainer | Pensiunan ASN
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H