Mohon tunggu...
Kompasianer METTASIK
Kompasianer METTASIK Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis itu Asyik, Berbagi Kebahagiaan dengan Cara Unik

Metta, Karuna, Mudita, Upekkha

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bagaimana Menemukan dan Mempertahankan Ikigai-mu?

18 Oktober 2022   19:23 Diperbarui: 18 Oktober 2022   19:29 361
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Ikigai (gambar: m-brilio.net, diolah pribadi)

Perkenalkan. Nama saya Ananta Viriya Kandaka.

Saya terlahir dengan nama yang sangat "Buddhis". Ananta berarti "tanpa batas". Viriya adalah "semangat". Dan Kandaka adalah nama belakang pemberian dari keluarga, yang juga terkait dengan nama "Kanthaka", seekor kuda yang menjadi tunggangan Sang Buddha.

Nama lengkap yang diberikan oleh kedua orang tua saya sejak tanggal 26 Oktober 1983 ini memberikan harapan kepada saya supaya senantiasa bersemangat untuk melaksanakan hal-hal positif, baik, dan bajik tanpa batas layaknya seekor kuda yang mengemban misi suci.

Seorang seniman zaman Renaisans, Shakespeare pernah bertanya, "Apalah arti sebuah nama?"

Dan ternyata memang apa yang beliau sampaikan tidak salah, karena saat masih bersekolah di bangku SD, SMP, dan SMA, saya cenderung tidak tampak bersemangat. Bahkan, saat itu berkali-kali lolos (bukannya lulus) sekolah. Bukannya rajin belajar supaya nilainya bagus dan naik kelas dengan baik, malah hampir setiap hari dan hampir setiap jam bermain video games dan computer games. Sempat juga tinggal di kelas 5 SD. Naik kelas pun nilainya pas-pasan. Lulus kuliah pun terlambat -- seharusnya lulus 8 semester, namun akhirnya malah lulus 14 semester.

Segalanya tampak madesu (masa depan suram) saat itu, tanpa semangat untuk berbuat sesuatu.

Akan tetapi, titik balik justru dimulai selama akhir masa perkuliahan, sekitar tahun 2007-2009. Karena saat itu saya masih tetap menjadi "mahasiswa abadi" yang harus kembali mengambil mata-mata kuliah dasar yang tidak pernah lulus, seperti Manajemen Keuangan, maka dengan sangat terpaksa masuk kelas yang sama dengan para mahasiswa baru. Bukan maksud menyombongkan diri, namun sebagian dari mereka memandang saya selayaknya senior yang bisa diminta bantuannya untuk mengajari mereka. Ya, mungkin karena wajah dan postur ini yang terlalu tua untuk kuliah.

Mereka pun menghampiri saya dan meminta untuk mengajarkan mereka Manajemen Keuangan.

"Bagaimana sih? Saya saja tidak pernah lulus mata kuliah ini. Saya tidak bisa mengajar", pikiran saya.

Akan tetapi, karena mereka terus-menerus mendesak, ditambah mereka siap membayar, maka saya pun tidak kuasa menolak permintaan mereka. Akhirnya, saya pun mencoba mengajarkan mereka Manajemen Keuangan, walau dengan perasaan terpaksa.

Seiring waktu, ketika saya berusaha melakoninya dari sesi ke sesi, dari hari ke hari, ternyata kegiatan ini terasa mengasyikkan. Memberikan ilmu pengetahuan dan wawasan umum kepada mahasiswa-mahasiswi baru memberikan suatu kebahagiaan tersendiri. Rasanya senang melihat orang lain bisa memahami apa yang saya ajarkan dan menjadi lebih baik daripada sebelumnya. Dan ketika nilai-nilai mereka mulai berubah dari E menjadi C, dari D menjadi B, sementara saya ikut lulus mata kuliah tersebut, muncullah suatu perasaan....priceless...yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata apapun. Momen inilah yang mengubah kehidupan saya selanjutnya.

Saya belajar bahwa dengan berbagi kepada sesama, kita akan mendapatkan apa yang kita butuhkan. 

Dari semester ke semester, semakin banyak mahasiswa-mahasiswi muda yang meminta bantuan saya untuk mengajari mereka. Selama itu pula, nilai-nilai saya pun membaik, hingga akhirnya saya bisa lulus kuliah pada tahun 2009 dan menghindari drop out.

Saya seolah menemukan IKIGAI saya.

Ikigai and dimensios for a balanced life, chart by Alexander J. Tanchoco -- February 25, 2016
Ikigai and dimensios for a balanced life, chart by Alexander J. Tanchoco -- February 25, 2016

Jadi siapa bilang bahwa kegagalan selalu buruk? Mungkin malah kegagalan itu mengantarkan kita pada kesuksesan.

Sejak saat menemukan tujuan hidup saya untuk senantiasa berbagi ilmu pengetahuan dan wawasan umum tahun 2007-2009, semangat dalam jiwa ini mulai timbul. Berikutnya, saya tahu benar bahwa saya akan berkarya di dunia pendidikan, sehingga saya pun rajin melamar pekerjaan sebagai guru. Selepas lulus sebagai Sarjana Ekonomi, saya pun bertekad untuk menjadi tenaga pendidik di sekolah-sekolah, karena saya paham bahwa di luar sana, pasti banyak anak-anak muda yang bisa saya bantu.

Meskipun demikian, apa yang saya kerjakan bukanlah tanpa tantangan. Dalam tiga bulan pertama saya memulai karir di sebuah sekolah formal di wilayah Lippo Karawaci, saya menghadapi "badai" karena ketidakmampuan mengelola kelas. Banyak orang tua siswa berbondong-bondong menemui saya untuk menuntut penjelasan, sementara keadaan kelas cukup berantakan dan kacau-balau. Ditambah lagi, saya masih membutuhkan waktu untuk berbaur dengan para guru dan staf di sekolah itu.

Di titik terendah, sempat saya curhat kepada seorang guru senior bahwa saya tidak mampu mengajar dan ingin quit sebagai guru.

Akan tetapi, beliau malah berkata, "Kamu boleh saja quit kalau kamu sudah bisa mengajar dengan baik. Seandainya kamu quit sekarang juga, kemudian bekerja di tempat lain, maka kamu akan menemukan masalah yang sama -- atau mungkin lebih berat. Apabila kamu saja tidak bisa menyelesaikan masalah ini, maka sampai kapanpun kamu akan selalu lari dari masalah. Masalah kamu tidak selesai, namun kamu malah membuat masalah bagi dirimu sendiri dan orang lain di tempat lain"

Seketika itu, saya pun tercerahkan.

Sadarilah bahwa masalah selalu ada dalam hidup. Carilah sebab-musabab masalahnya. Optimislah bahwa masalah akan selesai. Yang terakhir, hadapilah masalah itu dengan solusi, bukan malah menyerah begitu saja. Lakukanlah hal itu dengan penuh semangat. Kita tidak akan pernah tahu potensi kita apabila kita tidak berusaha mencobanya.

Akhirnya, saya pun tetap mengajar sambil mengatasi masalah-masalah yang dihadapi. Pada tahun ke-8 saya mengabdi sebagai guru, yaitu tahun 2018, saya dipercaya sebagai kepala sekolah hingga saat ini.  Semua itu tidak mungkin dicapai seandainya saya tidak gagal dalam menempuh pendidikan sejak awalnya.

Akan tetapi, yang membuat saya bisa mencapai kondisi saat ini adalah: mengambil hikmah dari berbagai kegagalan, lalu menjadikannya sebagai berkah bagi sesama makhluk, dan mencari solusi atas segala masalah yang dihadapi. Saya bisa, sehingga saya yakin ANDA pun bisa.

**

Serpong, 18 Oktober 2022
Penulis: Ananta Viriya Kandaka, Kompasianer Mettasik

Berusahalah Hari Ini Juga, Karena Kesempatan Belum Tentu Datang Dua Kali

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun