Perkenalkan. Nama saya Ananta Viriya Kandaka.
Saya terlahir dengan nama yang sangat "Buddhis". Ananta berarti "tanpa batas". Viriya adalah "semangat". Dan Kandaka adalah nama belakang pemberian dari keluarga, yang juga terkait dengan nama "Kanthaka", seekor kuda yang menjadi tunggangan Sang Buddha.
Nama lengkap yang diberikan oleh kedua orang tua saya sejak tanggal 26 Oktober 1983 ini memberikan harapan kepada saya supaya senantiasa bersemangat untuk melaksanakan hal-hal positif, baik, dan bajik tanpa batas layaknya seekor kuda yang mengemban misi suci.
Seorang seniman zaman Renaisans, Shakespeare pernah bertanya, "Apalah arti sebuah nama?"
Dan ternyata memang apa yang beliau sampaikan tidak salah, karena saat masih bersekolah di bangku SD, SMP, dan SMA, saya cenderung tidak tampak bersemangat. Bahkan, saat itu berkali-kali lolos (bukannya lulus) sekolah. Bukannya rajin belajar supaya nilainya bagus dan naik kelas dengan baik, malah hampir setiap hari dan hampir setiap jam bermain video games dan computer games. Sempat juga tinggal di kelas 5 SD. Naik kelas pun nilainya pas-pasan. Lulus kuliah pun terlambat -- seharusnya lulus 8 semester, namun akhirnya malah lulus 14 semester.
Segalanya tampak madesu (masa depan suram) saat itu, tanpa semangat untuk berbuat sesuatu.
Akan tetapi, titik balik justru dimulai selama akhir masa perkuliahan, sekitar tahun 2007-2009. Karena saat itu saya masih tetap menjadi "mahasiswa abadi" yang harus kembali mengambil mata-mata kuliah dasar yang tidak pernah lulus, seperti Manajemen Keuangan, maka dengan sangat terpaksa masuk kelas yang sama dengan para mahasiswa baru. Bukan maksud menyombongkan diri, namun sebagian dari mereka memandang saya selayaknya senior yang bisa diminta bantuannya untuk mengajari mereka. Ya, mungkin karena wajah dan postur ini yang terlalu tua untuk kuliah.
Mereka pun menghampiri saya dan meminta untuk mengajarkan mereka Manajemen Keuangan.
"Bagaimana sih? Saya saja tidak pernah lulus mata kuliah ini. Saya tidak bisa mengajar", pikiran saya.
Akan tetapi, karena mereka terus-menerus mendesak, ditambah mereka siap membayar, maka saya pun tidak kuasa menolak permintaan mereka. Akhirnya, saya pun mencoba mengajarkan mereka Manajemen Keuangan, walau dengan perasaan terpaksa.