Mohon tunggu...
Kompasianer METTASIK
Kompasianer METTASIK Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis itu Asyik, Berbagi Kebahagiaan dengan Cara Unik

Metta, Karuna, Mudita, Upekkha

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Makna di Balik Lambang-Lambang dalam Agama Buddha

13 Oktober 2022   06:06 Diperbarui: 13 Oktober 2022   06:10 5420
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar: health.harvard.edu, diolah pribadi

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan kata "lambang" sebagai sesuatu seperti tanda (lukisan, lencana, dan sebagainya) yang menyatakan suatu hal atau mengandung maksud tertentu, atau simbol, atau tanda pengenal yang tetap (menyatakan sifat, keadaan, dan sebagainya).

Lambang atau simbol merupakan salah satu ekspresi awal rasa seni manusia yang dikenal. Lambang atau simbol telah digunakan oleh manusia dalam rentang waktu yang cukup lama sebelum tulisan ditemukan atau dikenal. Oleh karenanya, tidaklah mengherankan bahwa penggunaan lambang atau simbol telah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari peradaban manusia.

Hampir semua agama maupun kepercayaan memiliki berbagai lambang atau simbol yang merepresentasikan kejadian atau peristiwa keagamaan penting, ajaran, atau tanda identitas unik agama. 

Lambang atau simbol agama dapat berupa gambar, bentuk, atau benda. Lambang atau simbol agama bisa lahir dari kepercayaan, ritual, atau etika dalam suatu agama. 

Dalam perjalanan waktu, lambang atau simbol agama dapat menjadi tanda yang dikultuskan, meskipun tidak semuanya, dalam berbagai bentuknya sesuai dengan kultur dan kepercayaan agama masing-masing.

Lambang atau simbol yang dikultuskan ini kemudian menciptakan sebuah sistem dan struktur yang mengarahkan manusia menjadi homo simbolicus dalam tipe atau pola religiusnya. 

Sebagai sebuah tanda yang kemudian dikultuskan, suatu lambang atau simbol agama memiliki makna yang tersembunyi atau yang dapat ditafsirkan dari makna harfiahnya ke makna yang mendalam bahkan sakral.

Sebagai sebuah sistem yang terstruktur, lambang atau simbol agama memiliki penjelasan tersendiri yang koheren (saling terkait), yang dapat dimaknai secara universal. Dan sebagai sebuah fenomena agama, lambang atau simbol umum dikultuskan dan direfleksikan dalam berbagai bentuk persembahan dan pemujaan, baik secara individual maupun kelompok.

Kedudukan lambang atau simbol dalam agama tercermin dalam kegiatan atau upacara keagamaan. Lambang-lambang atau simbol-simbol dalam berbagai keyakinan dan agama ada yang memiliki kemiripan dalam bentuk dan/atau maknanya.

Tidak hanya berkaitan dengan keagamaan, dalam hal yang bukan keagamaan pun, kehidupan manusia tidak lepas dari lambang atau simbol. Melalui lambang atau simbol, tidak perlu banyak kata dan kalimat yang terucap karena orang-orang sudah memiliki pengertian yang sama akan makna di baliknya.

Seperti halnya di dalam agama-agama lain, agama Buddha juga memiliki lambang-lambang atau simbol-simbol keagamaan, yang diyakini memiliki makna mendalam berkaitan dengan Buddha dan ajaran-Nya (Dhamma).

Lambang atau simbol agama Buddha umumnya tidaklah untuk dikeramatkan, apalagi dikultuskan. Lambang-lambang atau simbol-simbol agama Buddha lebih berfungsi sebagai pengingat umat Buddha akan Buddha dan Dhamma.

1. Buddha Rupang

gambar: sammaditthi.org, diolah pribadi
gambar: sammaditthi.org, diolah pribadi

Buddha rupang adalah patung atau arca Buddha. Terdapat berbagai kesalahpahaman atas praktik yang dilakukan oleh umat Buddha terhadap Buddha rupang. Umat Buddha melakukan namaskara atau sujud atau penghormatan yang diarahkan kepada Buddha rupang bukanlah ditujukan kepada fisik dari patung atau arca Buddha, melainkan kepada Buddha yang telah merealisasi nibbana (parinibbana).

Demikian pula, persembahan dalam berbagai bentuk di altar Buddha bukanlah sebagai sajian kepada Buddha rupang atau kepada Buddha yang telah parinibbana. Buddha tidak membutuhkan berbagai persembahan atau sajian apa pun. Berbagai persembahan tersebut memiliki makna tersendiri sebagai pengingat ajaran Buddha (Dhamma).

Buddha rupang digunakan sebagai lambang atau simbol pengingat akan jasa-jasa Buddha yang telah mengajarkan kebenaran atau ajaran mulia (Dhamma) demi kesejahteraan dan keselamatan berbagai makhluk. Buddha rupang juga melambangkan atau menyimbolkan ketenangan batin karena Buddha telah mencapai penerangan sempurna, telah menjadi suci adanya, dan sempurna dalam praktik ketenangseimbangan atau keseimbangan batin (upekkha).

Patung atau arca Buddha, sebagai pengejawantahan Guru Agung Buddha, juga merupakan objek bagi umat Buddha untuk menfokuskan diri sewaktu mempraktikkan meditasi.

2. Roda Dhamma (Dhammacakka)

gambar: dmc.tv, diolah  pribadi
gambar: dmc.tv, diolah  pribadi

Cakka atau cakra (roda) berjari-jari delapan (roda Dhamma/Dhammacakka) melambangkan kebenaran (Dhamma) ajaran Buddha, yakni "Jalan Mulia Berunsur Delapan". Ini adalah ajaran Buddha sebagai jalan untuk menuju kepada lenyapnya penderitaan (dukkha). Delapan unsur dari "Jalan Mulia" tersebut adalah benar dalam hal pandangan/pengertian, pikiran, ucapan, perbuatan, pencaharian, daya-upaya, perhatian, dan konsentrasi.

Pemutaran roda Dhamma yang pertama kali oleh Buddha berupa khotbah yang Buddha sampaikan kepada lima orang bhikkhu (kondanna, Bhaddiya, Vappa, Mahanama, Assaji) setelah mencapai penerangan sempurna. Khotbah ini dikenal sebagai "Khotbah Pemutaran Roda Dhamma" (Dhammacakkappavattana Sutta) dan diperingati oleh umat Buddha setiap tahunnya sebagai Asalha Puja (hari Asadha).

Roda juga bisa melambangkan atau menyimbolkan kehidupan yang terus berputar. Tidak hanya dalam satu kehidupan, kondisi dan situasi yang dihadapi bisa naik dan turun (berputar), juga dalam berbagai kehidupan, para makhluk berputar-putar dalam arus samsara (kehidupan yang terus berulang).

Ada juga yang menggunakan roda sebagai pengingat bahwa manusia yang jahat perilakunya dapat berubah menjadi lebih baik dengan mempelajari dan mempraktikkan ajaran Buddha. Tentu saja manusia harus juga berhati-hati karena dapat tergelincir dari orang baik menjadi orang kurang baik sepanjang belum mencapai tingkat-tingkat kesucian.

3. Bunga Teratai

gambar: pixabay.com, diolah pribadi
gambar: pixabay.com, diolah pribadi

Bunga teratai dalam agama Buddha melambangkan atau menyimbolkan kesucian atau kondisi tidak ternoda. Meski lingkungannya basah, bahkan kotor tempat tumbuh dan lingkungannya, bunga teratai menyeruak bersih dan indah terpisah dari lingkungannya.

Dengan mempelajari dan mempraktikkan ajaran Buddha, setiap makhluk dapat mencapai berbagai tingkat kesucian dan pada akhirnya menjadi bersih sepenuhnya dari noda batin alias menjadi tidak ternoda sedikit pun lagi (merealisasi nibbana).

Bunga teratai juga menjadi salah satu lambang atau simbol penting dalam agama Buddha karena Pangeran Siddhatta begitu lahir lalu berjalan sebanyak tujuh langkah di atas bunga teratai ke arah utara.

4. Pohon Bodhi (Ficus religiosa)

gambar: pinterest.com, diolah pribadi
gambar: pinterest.com, diolah pribadi

Dalam agama Buddha, pohon bodhi (Ficus religiosa) melambangkan atau menyimbolkan penerangan, pencerahan, pengetahuan tertinggi, dan kebijaksanaan. Pertapa Gotama menjadi Buddha setelah mencapai penerangan atau pencerahan sempurna dan menjadi suci adanya dalam posisi bermeditasi di bawah pohon bodhi.

Oleh karenanya, selama satu minggu lamanya di minggu kedua setelah pencapaian penerangan atau pencerahan sempurna, Buddha berdiri dan memandang pohon Bodhi tempat-Nya bernaung sebelumnya, dengan mata tidak berkedip sedikit pun. Ini sebagai wujud terima kasih Buddha kepada pohon bodhi.

Praktik berterima kasih ini, sekali pun dilakukan kepada tanaman yang bukan makhluk hidup, menjadi tauladan bagi umat Buddha untuk menjadi orang yang tahu berterima kasih atas berbagai kebaikan yang telah diterima sepanjang kehidupan.

5. Stupa

gambar: pngtree.com, diolah pribadi
gambar: pngtree.com, diolah pribadi

Stupa berbentuk seperti lonceng. Dulunya, stupa digunakan sebagai tempat untuk menyimpan relik (sisa pembakaran jenazah) para Ariya. Mereka adalah orang-orang yang telah mencapai tingkat-tingkat kesucian. Stupa juga menjadi tempat menyimpan abu jenazah para raja yang dihormati di zamannya.

Oleh karenanya, stupa menjadi lambang atau simbol pengingat kesucian para Ariya. Stupa juga untuk memunculkan motivasi guna mencontoh perilaku para Ariya dalam mempelajari dan mempraktikkan ajaran Buddha untuk meningkatkan kualitas batin menuju pencapaian kesucian.

Ada yang mempercayai bahwa Buddha mengambil tiga lembar jubah-Nya, melipatnya hingga membentuk bujur sangkar, lalu diletakkan di atas tanah saling bertumpuk satu sama lain. Di atasnya diletakkan patha (mangkuk/bowl) secara terbalik. Di atasnya lagi diletakkan tongkat yang biasanya dibawa berkelana. Ke semuanya berpadu membentuk stupa. Oleh karena itu, stupa terlihat seperti terdiri dari tiga tingkat, yakni dasar berbentuk trapezoid, tengah berbentuk setengah bola, dan atas berbentuk kerucut.

6. Relik

gambar: id.quora.com, diolah pribadi
gambar: id.quora.com, diolah pribadi

Relik adalah peninggalan dari jenazah orang suci yang diperabukan. Relik dapat berupa sisa kuku, rambut, abu, gigi, tulang, atau benda tertentu yang tertinggal setelah jenazah dikremasikan. Pemujaan terhadap relik, yang merupakan penghormatan kepada orang suci, dimulai sejak Buddha Gotama parinibbana. Setelah perabuan, relik Buddha dibagi menjadi 10 bagian dan disimpan di dalam stupa yang didirikan di 10 negara.

7. Bendera Buddhis

gambar: nenow.in, diolah pribadi
gambar: nenow.in, diolah pribadi

Bendera buddhis yang biasa disebut "Chabana Ramsi" (panji enam warna) terdiri dari warna-warna berikut beserta arti dari setiap warna: biru (= bakti), kuning (= bijaksana), merah (= cinta kasih), putih (= kesucian), oranye (= aktif, giat, semangat), dan campuran kelima warna (= aura Buddha).

Asal mula dari kelima warna tersebut adalah di minggu keempat setelah Pertapa Gotama mencapai penerangan atau pencerahan sempurna dan lalu menjadi Buddha, Beliau bermeditasi dan dari tubuh Buddha keluar sinar-sinar dengan warna-warna tersebut.

8. Siripada

gambar: pab.kangwidi.com, diolah pribadi
gambar: pab.kangwidi.com, diolah pribadi

Siripada melambangkan atau menyimbolkan jejak (tapak) kaki Buddha. Dengan melihat atau mengingat siripada, kita diingatkan untuk mempelajari ajaran Buddha dan terutama mempraktikkan ajaran Buddha dalam kehidupan sehari-hari.

Melihat dan mengingat siripada seakan kita mendengar kata-kata Buddha, "Ikutilah jejak-jejak langkah-Ku". Cara mengikuti langkah-langkah Buddha adalah dengan mempelajari ajaran Buddha (Dhamma), melaksanakannya, mencapai kesucian, dan akhirnya merealisasi nibbana.

9. Lilin

gambar: id.aliexpress.com, diolah pribadi
gambar: id.aliexpress.com, diolah pribadi

Lilin yang biasanya diletakkan di altar Buddha merupakan lambang atau simbol penerangan. Dalam hal ini, lilin melambangkan atau menyimbolkan ajaran Buddha (Dhamma). Dhamma berfungsi sebagai "pelita" yang menerangi batin dengan mengusir kegelapan batin dan ketidaktahuan (avijja).

Lilin juga bisa menjadi lambang atau simbol bahwa rangkaian karma dalam kehidupan ini - bentuknya adalah kehidupan itu sendiri - akan habis atau selesai pada waktunya atau sesuai dengan kondisinya. Yang perlu dipahami adalah selagi suatu makhluk masih ada di arus samsara, kelahiran kembali akan terus dialami oleh makhluk tersebut.

10. Dupa atau Hio

gambar: feng-shui.lovetoknow.com, diolah pribadi
gambar: feng-shui.lovetoknow.com, diolah pribadi

Dupa atau hio, yang sering dinyalakan di altar Buddha, melambangkan atau menyimbolkan keharuman atau wanginya ajaran benar (Buddha Dhamma), yang menyebar ke segala arah bahkan ke semua alam.

Namun berbeda dengan keharuman atau wangi dupa atau hio yang menyebar hanya searah dengan tiupan angin, keharuman atau wanginya Dhamma menyebar ke segala arah bahkan ke semua alam.

Dupa atau hio juga melambangkan keharuman atau wanginya kebajikan yang dilakukan, akan menyebar ke segala arah, bahkan ke semua alam. Oleh karenanya, keberadaan dupa atau hio juga mengingatkan kita untuk lebih banyak berbuat baik sepanjang kehidupan. Sebaliknya, berhati-hatilah dengan perbuatan buruk, aroma atau bau busuknya juga akan menyebar ke segala arah dan ke semua alam.

11. Bunga

gambar: wikipedia.org, diolah pribadi
gambar: wikipedia.org, diolah pribadi

Bunga dalam agama Buddha menjadi lambang atau simbol ketidakkekalan (anicca). Buddha mengajarkan bahwa segala sesuatu yang berkondisi, yang terbentuk dari perpaduan unsur, yang saling bergantungan adalah tidak kekal, akan berubah adanya.

Bunga dibentuk awalnya oleh bakal bunga, lalu mulai mekar perlahan menjadi bunga sempurna. Tahapan ini berlanjut dengan bunga mulai melayu dan pada akhirnya gugur atau luruh sepenuhnya. Kelayuan bunga melambangkan atau menyimbolkan kehidupan yang akan mengalami kelapukan dan menuju ke kematian.

Ada pula yang mengartikan keharuman atau wanginya bunga dengan keharuman dan wanginya ajaran Buddha (Dhamma) serta kebajikan. Tentu saja hal ini diperbolehkan dan sah-sah saja sepanjang dapat mengingatkan dan memotivasi kita untuk lebih banyak mempraktikkan Buddha Dhamma dan melakukan kebajikan.

12. Air

gambar: cdc.gov, diolah pribadi
gambar: cdc.gov, diolah pribadi

Air dalam agama Buddha menjadi lambang atau simbol ajaran Buddha (Dhamma) yang dapat membersihkan diri kita dari kekotoran batin.

Selain untuk membersihkan yang kotor, air juga menjadi sumber kehidupan. Sifat air juga dapat menyesuaikan dengan bentuk lingkungannya, selalu menuju ke tempat yang lebih rendah, dan meski terlihat lemah namun bisa menjadi sangat dahsyat (misal dalam kasus terjadinya banjir bahkan tsunami).

Kita patut mencontoh berbagai karakter baik dari air dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Niscaya kualitas diri dan kehidupan yang lebih baik akan menjadi milik kita.

13. Buah dan Makanan

gambar: health.harvard.edu, diolah pribadi
gambar: health.harvard.edu, diolah pribadi

Buah, dan kadang makanan, yang ada di altar Buddha bukanlah persembahan atau sajian kepada Buddha karena Beliau tidak akan menikmatinya. Buah dan makanan adalah lambang atau simbol penghormatan kepada Guru Agung Buddha yang telah mengajarkan Dhamma dan mencontohkan praktiknya.

Selain itu, buah melambangkan atau menyimbolkan Hukum Karma. Selagi masih di arus samsara, belum mencapai tingkat kesucian Arahat, makhluk-makhluk masih akan melakukan perbuatan (karma/kamma) yang buah atau hasil atau akibatnya akan diterima oleh makhluk pelaku perbuatan tersebut di kemudian waktu, entah kapan, entah di mana, dan entah bagaimana.

14. Swastika

gambar: megapixl.com, diolah pribadi
gambar: megapixl.com, diolah pribadi

Swastika dalam agama Buddha berbentuk seperti lambang Nazi tetapi dengan arah kaki-kaki yang berkebalikan. Di lambang Nazi, arah kaki sesuai arah jarum jam; sedangkan di swastika, arah kaki berlawanan dengan arah jarum jam.

Swastika menjadi lambang atau simbol keadaan baik. Juga menjadi lambang atau simbol kehidupan suatu makhluk yang terus-menerus berputar selagi makhluk tersebut masih di arus samsara. Swastika juga digunakan sebagai lambang atau simbol kesejahteraan dan hidup panjang.

**

Tangerang, 13 Oktober 2022
Penulis: Toni Yoyo, Kompasianer Mettasik

Professional |Trainer | Speaker | Consultant | Lecturer | Author

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun