Alhasil seiisi rumah terbangun karena kaget. Barang yang terjatuh letaknya bukan di depan tangga. Malah berjarak cukup jauh dari sana. Kejadian semalam hanya itu saja, tidak ada lagi. Kami pun kembali tidur dengan perasaan was-was.
Perasaan tidak nyaman berlanjut hingga keesokan harinya. Setalah anak-anak berangkat ke sekolah, penulis mulai merasakan ada yang aneh. Sekilas dari sudut mata, selalu terasa ada sosok yang melintas. Atau seperti ada jubah putih yang sedang duduk di tangga.
Masih mencoba berpikir positif, ternyata sudah tidak bisa lagi. Puncak aksi si Caper saat penulis baru selesai mandi. Sesaat setelah keluar dari kamar mandi, di depan pintu ada sesosok tubuh besar menunggu. Penulis kaget dan hampir jatuh terpeleset.
Sosok itu bertubuh besar, hitam, dan tampak seperti manusia purba dengan pakaian primitif. Kejadian tersebut berlangsung dalam waktu kira-kira semenit dan kemudian menghilang.
Penampakan itu membuat penulis benar-benar terguncang. Akhirnya dengan terpaksa, penulis pun bertanya kepada kawan-kawan di grup perpesanan. Berbagai saran kemudian diberikan. Ada yang menyuruh mengusirnya melalui doa, ada yang menyuruhnya cuek saja.
Syahdan tidak ada solusi yang didapatkan. Hari-hari selanjutnya dijalani dengan penuh ketakutan. Tempat tidur anak diguncang keras, barang-barang melayang ke sana kemari. Semakin hari semakin menjadi, sehingga kami sekeluarga akhirnya tidur dalam kamar yang sama.
Lama kelamaan, akhirnya kami menjadi terbiasa. Gangguan-gangguan tak kasat mata sepertinya sudah terasa normal dalam kehidupan kami. Anehnya, semakin kami anggap biasa, gangguan yang ditimbulkan pun terasa berkurang.
Sehingga suatu waktu saya mendapat masukan yang agak sedikit unik dari seorang kawan. Ia berkata jika sesungguhnya mahluk yang tak kasat mata tersebut sedang menderita di alamnya.
Aksi yang ia lakukan bukanlah sikap bermusuhan. Mereka hanya ingin menyampaikan kepada kami sebagai penghuni rumah tentang eksistensinya. Yang perlu dilakukan cukup pelimpahan jasa.
Dalam agama Buddha, pelimpahan jasa adalah mendedikasikan perbuatan baik yang dilakukan kepada para kerabat atau makhluk lain yang sudah meninggal. Dengan demikian, diyakini bahwa penderitaan makhluk tersebut akan berkurang, karena mereka mendapatkan kebahagiaan.
Tidak ada ritual resmi yang penulis lakukan. Cukup merenung, mengingat perbuatan-perbuatan baik yang telah dilakukan selama ini. Dalam hati kemudian berkata, "semoga perbuatan baikku memberikan kebahagiaan bagi para makhluk di dalam rumah ini."