Sebuah berita di media daring menyebutkan bahwa Buddhisme dinobatkan sebagai agama terbaik di dunia. Setelah dilakukan penelusuran, ternyata banyak media daring dengan pelbagai bahasa yang memuat kabar demikian, dan kesemuanya menyebutkan bahwa warta tersebut dikutip dari media Tribune de Geneve.
Ironisnya, beritanya tidak dapat ditemukan di Tribune de Geneve. Terlebih lagi, nama Linda Moulin, yang dicantumkan sebagai penulis berita, sejauh ini tidak terdaftar sebagai jurnalis media tersebut. Selain itu, tidak juga ditemukan laman resmi dari International Coalition for the Advancement of Religious and Spirituality (ICARUS), yang disebut sebagai lembaga yang menobatkan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa berita tersebut merupakan hoaks alias informasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Sikap yang Perlu Diterapkan
Sebagai seorang Buddhis atau mereka yang simpatik kepada Buddhisme, berita tersebut menyenangkan sehingga ingin sekali dibagikan kepada sebanyak-banyaknya orang. Tidak dapat dipungkiri, ketika mendengar atau membaca berita tentang sesuatu yang dianggap sebagai bagian dari diri kita, kondisi batiniah kita mudah terpengaruh. Ketika tidak menyenangkan, kita ikut membenci, sebaliknya ketika menyenangkan kita turut bersenang. Hal tersebut wajar terjadi, hanya saja kita perlu menerapkan sikap agar tidak terpedaya.
Bagaimana sikap yang perlu diterapkan? Dalam Brahmajalasutta, Dighanikaya, Sang Buddha mengarahkan bahwa ketika ada yang menghina Buddha, Dhamma, atau Sangha, tidak sepatutnya kita mengembangkan kemarahan. Karena, ketika kita marah dan membenci, kita tidak akan bisa melihat kebenaran dan itu menjadi masalah untuk diri kita sendiri. Jika memang keliru, bisa diluruskan tanpa perlu adanya kemarahan.
Sebaliknya, jika ada yang memuji Buddha, Dhamma, atau Sangha, tidak sepatutnya kita terbuai bersenang karena hal tersebut juga menjadi kendala bagi kemajuan batin. Jika memang hal tersebut benar, bisa disetujui tanpa perlu berbesar kepala.
Penapisan sebelum Membagikan Berita
Sebagai seorang Buddhis, sepatutnya seseorang menjaga ucapannya karena diumpamakan seseorang terlahir dengan kapak di mulutnya. Kapak tersebut dapat menghancurkan mereka yang berkata keliru. Media tulis perlu dimengerti sebagai perpanjangan ucapan, sehingga kita juga perlu menapis sebelum membagikan tulisan agar tidak menjadi bumerang bagi diri kita sendiri.
Merujuk kepada Vacasutta, Anguttaranikaya, terdapat lima hal yang perlu dipertimbangkan sebelum mengucapkan sesuatu, di antaranya: tepat waktu (kalena), berasal dari kebenaran (sacca), diucapkan dengan lembut (sanha), disertai manfaat (atthasamhita), serta teriring pikiran cinta kasih (mettacittena). Sebuah kebenaran ketika disebutkan tidak tepat waktu dapat juga menjadi hal yang tidak bermanfaat.
Kembali kepada berita tentang penobatan Buddhisme sebagai agama terbaik. Berita tersebut jelas tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Tidak ada waktu yang tepat untuk menyampaikan berita yang tidak benar. Sudah jelas tidak membawa manfaat, karena berpotensi memunculkan pengotor batin, setidaknya sarambha, yaitu sifat kompetitif, serta atimana, kesombongan atau sesumbar karena menganggap lebih tinggi.
Tidak Penting Menjadi yang Terbaik
Sebagai simpulan, sama sekali tidak penting apakah Buddhisme dinobatkan sebagai agama terbaik atau tidak. Yang paling penting adalah bagaimana seseorang yang mengaku sebagai siswa Sang Buddha memahami betul yang diajarkan oleh Beliau serta adanya praktik secara penuh. Terlebih lagi, label hanyalah sematan yang semu jika tidak dicerminkan oleh perilaku nyata.
**
Jakarta, 17 September 2022
Penulis: Bhikkhu A.S.K. Thitasaddho, Kompasianer Mettasik
Praktisi Dhammavinaya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H