Mohon tunggu...
Kompasianer METTASIK
Kompasianer METTASIK Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis itu Asyik, Berbagi Kebahagiaan dengan Cara Unik

Metta, Karuna, Mudita, Upekkha

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jhana dan Tantangan yang Dihadapi Yogi Saat Bermeditasi

15 September 2022   19:45 Diperbarui: 16 September 2022   19:20 1495
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 3: Salayay Daw Dipankara tengah membimbing peserta retret meditasi, foto: Deborah limarno

Dalam khotbahnya di kegiatan "Retret Meditasi Salayay Daw Dipankara" di Malino Meditation Village (Madiva), Malino, Tinggimoncong, Sulawesi Selatan yang digagas Abdi Dhamma pada Selasa 30 Agustus hingga 4 September 2022, guru spiritual dan praktisi meditasi sohor asal Myanmar Sayalay Daw Dipankara memaparkan banyak hal terkait meditasi, termasuk tantangan-tantangan yang dihadapi para yogi.

Kesemua tantangan yang lazim dihadapi yogi, menurut 'Sayalay', demikian ia disapa mengacu terhadap aral yang mereduksi perkembangan mental dan spiritual.

"Yang paling sering dihadapi para yogi, yang paling sering kita lihat adalah rasa kantuk yang tak tertahankan," beber Sayalay Daw Dipankara dalam bahasa Inggris dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh salah seorang panitia retret.

Namun, ungkapnya, hal itu hanyalah awal rintangan yang kasatmata dilihat. Banyak hal lainnya seperti kilesa yang masih melekat dalam batin yogi pemula.

Gambar 1: peserta retret tengah bermeditasi dengan serius, dokumentasi: Deborah limarno
Gambar 1: peserta retret tengah bermeditasi dengan serius, dokumentasi: Deborah limarno

"Semua itu mengotori batin, menarik pikiran ke sana kemari sehingga tidak ada konsentrasi pada objek. Padahal, meditasi itu mudah. Kita hanya perlu fokus pada pernapasan dalam objek meditasi 'anapanasati' ini," imbuh Sayalay Daw Dipankara.

Anapanasati yang dimaksudnya berasal dari bahasa Pali, secara harfiah bisa diartikan sebagai suatu bentuk kesadaran terhadap pernapasan. Lebih mendetailnya, 'sati' dapat diartikan sebagai perhatian sementara 'anapana' berteguh terhadap masuk maupun keluarnya napas seseorang.

"Saat yogi melatih meditasi anapanasati ini diperlukan sikap batin yang solid berupa pikiran tenang. Sati atau perhatian penuh merupakan faktor mental yang bertugas dalam memperhatikan atau mengamati napas," jelas Sayalay Daw Dipankara.

Ia menambahkan, hal itu berarti yogi bukan menggenggam napas. Pasalnya, bila energi yang dikeluarkan untuk fokus pada napas terlalu berlebihan jadinya bakal menimbulkan ketegangan.

Gambar 2: _peserta retret tengah melakukan amisa puja di hadapan Salayay Daw Dipankara, foto: Deborah limarno
Gambar 2: _peserta retret tengah melakukan amisa puja di hadapan Salayay Daw Dipankara, foto: Deborah limarno

"Padahal agar bisa berkonsentrasi, maka dibutuhkan keadaan yang benar-benar rileks. Dalam objek anapanasati, yogi hanya perlu fokus merasakan sensasi yang 'bersinggungan' dengan gerakan napas dalam tubuh, terutama dinding hidung. Ini adalah praktik-praktik yang mesti dipahami para yogi dalam konteks kesadaran," papar Sayalay Daw Dipankara.

Menurutnya, pikiran yang mengembara dan meloncat-loncat ibarat "monyet liar" yang tidak bisa diam.

"Jangankan pencapaian jhana pertama, jika hal itu tak dapat diatasi para yogi dengan memusatkan perhatian pada satu objek maka dapat dipastikan meditasi yang dilakukan tidak akan berhasil," jelas Sayalay Daw Dipankara.

Saat memaparkan pengetahuan, terutama pengalamannya sebagai praktisi meditasi selama puluhan tahun kepada para Yogi di Madiva, ia menekankan pentingnya semangat dalam bermeditasi. Semangat itu juga harus disertai rasa melepas.

Gambar 3: Salayay Daw Dipankara tengah membimbing peserta retret meditasi, foto: Deborah limarno
Gambar 3: Salayay Daw Dipankara tengah membimbing peserta retret meditasi, foto: Deborah limarno

"Melepas keegoan, ini penting dalam perkembangan meditasi kita. Jika kaki atau tubuh kita terasa sakit, selama masih bisa ditahan rasa sakitnya, usahakan ditahan dan tidak mengubah-ubah posisi kaki saat duduk bersila. Pusatkan saja pada objek napas," kata Sayalay Daw Dipankara.

Ia menyinggung perihal sifat egoistik yang selalu dipertahankan manusia, termasuk para yogi. Untuk itu, ia tegas mengatakan yogi harus melepas 'kenyaman' terhadap jasmani.

"Makanya, mengapa yogi harus berkomitmen dan mengambil 'attasila' yang juga berarti harus melepas rasa-rasa nyaman yang selama ini dijalani sebagai umat awam. Harus menahan rasa lapar karena tidak bisa makan selepas tengah hari, bangun pagi hari sekitar jam tiga-empat dan langsung bermeditasi berjam-jam, tidak melakukan hal-hal lain yang menyenangkan," terang Sayalay Daw Dipankara.

Dengan demikian, imbuhnya, jasmani dan batin para yogi bisa harmonis sehingga apa yang menjadi tujuan adiluhung manusia dapat terwujud.

"Oleh karena itu, sila, samadhi, dan panna harus seiring dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari," kata Sayalay Daw Dipankara.

Gambar 4: _Salayay Daw Dipankara tengah mengamati para yogi yang sedang bermeditasi, foto: Deborah limarno
Gambar 4: _Salayay Daw Dipankara tengah mengamati para yogi yang sedang bermeditasi, foto: Deborah limarno

Adapun jhana yang merupakan proses menuju tingkat kesucian, menurutnya otomatis akan terealisasi apabila yogi bersungguh-sungguh dalam bermeditasi.

Hal itu diungkapkan Sayalay Daw Dipankara dalam sesi interview tatap muka menyoal kemajuan maupun kesulitan yang dihadapi para yogi.

"Jika yogi sudah fokus terhadap napasnya, maka nantinya akan muncul 'nimitta' berupa wujud kesadaran dalam bentuk cahaya putih bersinar kemilau. Nah, untuk menuju tingkat jhana prosesnya adalah para yogi harus memusatkan perhatiannya terhadap objek ini dengan konstan menyebut anapanasati nimitta," katanya.

Sejatinya, pada retret meditasi kali ini Sayalay Daw Dipankara menjelaskan sesuai yang diajarkan Sang Buddha.

"Perenungan mengenai kesadaran merupakan cara berlatih 'perenungan' yang perlu dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Ini seperti merenungkan batin sebagai batin dan bukan sebaliknya, bukan batin sebagai 'milikku', 'rohku' dan 'aku' sebagai personal," tutupnya.

**

Makassar, 15 September 2022
Penulis: Effendy Wongso, Kompasianer Mettasik

Wartawan | Pencinta Sastra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun