Secara umum, di hampir semua keyakinan, dana itu dipahami sebagai memberi. Ini wajar karena secara harfiah/kongkrit baik jasmani atau rohani berdana itu dilakukan dengan memberi pada yang membutuhkan. Akibatnya banyak umat buddhis yang salah kaprah.
Dalam buddhis berdana itu bukan memberi. Berdana itu melepas.
Apa bedanya?
Kalau istilahnya memberi, secara awam fokusnya jadi pada yang diberi. Tujuannya jadi untuk kebaikan yang diberi. Sedangkan istilah melepas mengingatkan kita bahwa fokusnya ada pada yg memberi -- diri sendiri; karena hakekat tujuannya melatih diri mengurangi kemelekatan agar penderitaan berkurang.
Ini jadi penting menyaksikan fenomena di masyarakat dimana kebanyakan orang, alih-alih menggunakan agama untuk melatih dirinya sendiri, malah menghabiskan waktu menggunakan agama untuk menggembleng orang lain.
Sebetulnya kedua istilah itu tidak bertentangan selama yg melakukan ingat kriteria berdana yang baik. Karena melepas, kriterianya hanya satu --Â ikhlas. Tidakkah mencintai itu juga harus tulus? Menolong itu juga harus tanpa pamrih? Jadi selama ikhlas, memberi atau melepas sama saja.
Pertanyaannya sekarang, bagaimana memastikan kita berdana dengan ikhlas?
Definisi ikhlas itu sederhana - tanpa pamrih. Tanpa mengharap apa-apa. Bukan hitung-hitungan untung atau rugi. Tidak ada takaran hasilnya kecil atau besar. Tapi silakan tanya pada diri masing-masing (saya yakin anda bisa dan mau jujur pada diri sendiri) kapan anda terakhir melakukan sesuatu tanpa tujuan, tanpa harapan? Tanpa pamrih?
Tidak terbayangkan. Karena kalau ditanya kenapa berdana? Selalu ada jawabannya. Selalu ada "timbal baliknya".
Mungkin karena itu, kalau niat berbuat baik atau berdana karena satu dan lain hal gagal, kita kesal. Dana makanan ke Bhante tidak dimakan oleh bhante yang dituju, kecewa. Berdana kalau tidak ketemu Bhante yang Mahathera, pulang.
Tapi kan katanya sangha adalah "ladang menanam jasa yang tiada taranya".
Inilah yang saya sebut paradox keikhlasan.
Bagaimana mengajak orang berbuat ikhlas tanpa memberikan harapan? Tanpa menjanjikan kebaikan? Tanpa memaparkan pahala?
Baru saja saya berusaha mengajak anda berdana dengan "benar" menggunakan iming-iming "melepaskan kemelekatan agar penderitaan berkurang".
Untuk itu saya minta maaf sudah mencemarkan keikhlasan anda... :)
Jadi bagaimana ini ?
Dalam hal mengajak. Saya belum menemukan jalan yang lebih baik selain dengan teladan dan keyakinan. Karena keikhlasan tidak bisa dibuktikan. Menuntut pembuktian itu sendiri rawan ke-tidak-ikhlas-an. Karena ketika berpikir paradigmanya jadi antisipasi. Kerangka berdebatnya jadi untung rugi. Bergeser dari hati ke otak, dari perasaan ke logika duniawi.
Gembel ini benar beli makanan apa tidak ya kalau saya kasih uang jangan-jangan buat rokok? Buat apa berdana jubah lagi, di gudang vihara sudah penuh sampai ada yang lapuk. Daripada menolong nyawa anjing yg terlantar di jalan lebih baik urus orang tua.
Lantas apa kita harus berdana tanpa berpikir?
Jawaban pendeknya, iya. Hindari berpikir, totalkan ke rasa.
Dalam hal berbuat, dengan keyakinan pada dhamma, berdanalah secara spontan. Kalau anda temukan kesempatan memberi/melepas lakukan segera. Jangan direka-reka, jangan khawatir, berhentilah bersiasat.
Kalau dana Anda disalahgunakan, parami anda tidak berkurang, yang menyalahgunakan yang akan mewarisi kamma-nya sendiri. Apapun yang sudah anda danakan bukan lagi milik anda. Kalau anda berdana dengan ikhlas, tidak ada istilah tertipu. Kalau dana anda tersia-siakan jasa anda utuh, ber-mudita-lah mereka yang menerima dana mendapat lebih dari yang dibutuhkan. Lepas..... lepaskan.
Let it go -- Elsa.
Keikhlasan tidak bisa dipikir tapi bisa dinalar. Saya pernah singgung ini pada kesimpulan di artikel Hukum Kamma sebagai keadilan yg puitis.  Secara praktis, kita bisa saksikan reaksi orang-orang sebagai akibat perbuatan kita. Tapi yang lebih penting kita bisa buktikan berkurangnya penderitaan kita akibat reaksi-reaksi itu. Ehipassiko...
Karena itu saya juga meyakini berdana adalah jalan keluar ketika hidup dirudung kemalangan. Rintangan silih berganti dan kesialan datang bertubi-tubi. Karena yang tengah terjadi adalah buah kamma (Vipaka) yang tidak bisa diubah.
Tidak dengan puja puji, tidak dengan jimat dari luar negeri, dalam salah satu sutta (Dhammapada 14:182) bahkan dengan jelas dibabarkan, tidak oleh sang Buddha sekalipun buah kamma bisa diubah. Satu-satunya harapan ada pada diri sendiri. Kesadaran untuk menentukan yang akan datang dengan perbuatan (kamma) saat ini. Kekuasaan untuk berdana SEKARANG.
Jadi Bapak Ibu saudara semuanya....
WHEN EVERYTHING ELSE FAIL,
GIVE....
Don't think... just GIVE.
Semoga celotehan tertulis saya ini menumbuhkan semangat yang sempat kendor, mengembalikan kepercayaan diri yang kadung melorot atau menginspirasi tujuan hidup yang sarat dengan pilihan duniawi ini...
Sabbe Satta Bhavantu Sukhitata
Semoga semua Mahluk Berbahagia.
**
Penafian
Opini dalam artikel ini meski terinspirasi ajaran Agama Buddha mahzab Theravada adalah murni buah pikir pengarang sendiri yang tidak mewakili organisasi, mahzab atau ajaran manapun.
**
Jakarta, 14 September 2022
Penulis: Paul Bhinneka, Kompasianer Mettasik
Pemerhati Dhamma
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H