Yang umum dikenal adalah panca indera, penglihatan, pendengaran, penciuman, penyentuhan dan pengecap.
Jika tidak catat apapun, tidak terhalang awan, mata mampu melihat objek yang ada di ribuan bahkan jutaan kilometer, seperti melihat matahari, bulan dan bintang. Telinga dapat mendengar suara yang beberapa kilometer. Hidung lebih dekat lagi, hanya dapat mencium bau-bauan sekitar beberapa meter saja.
Kulit hanya dapat merasakan kalau benar-benar tidak ada jarak, jarak sama dengan nol. Objek harus menempel di kulit. Lidah hanya dapat mengecap rasa kalau dimasukkan ke dalam mulut, jarak dengan objek minus.
Proses kognitif (mengenali) panca indera harus memenuhi syarat, yaitu adanya objek, indera secara fisik yang sehat, adanya media pengantar, kontak, perhatian, adanya kesadaran indera, barulah objek tersebut dikenali. Jika salah satu syarat tidak terpenuhi, maka proses kognitif tidak terjadi.
Misalkan proses melihat, adanya sepiring nasi dalam jangkauan penglihatan, mata dalam keadaan sehat, adanya cahaya, perhatian diarahkan, terjadilah kontak, kesadaran indera penglihatan muncul, barulah sepiring nasi dikenali. Semua proses ini dijelaskan secara detail, yang dikenal dengan istilah Citta Vithi.
Selain panca indera yang umum dikenal, Buddha menyebutkan pikiran juga sebagai indera keenam, yang bekerja mengenali aktivitas pikiran/batin. Seperti mengenali perasaan kecewa, senang, netral, emosi benci, marah, serakah, iri dan lainnya. Indera-pikiran dalam bahasa Pali dikenal sebagai mano.
Proses kognitif yang indera-pikiran, sama seperti proses indera lainnya. Harus ada objek (pikiran), indera-pikiran dalam kondisi baik, perhatian, kontak, adanya kesadaran-pikiran (mano vinnana), barulah objek pikiran tersebut dikenali.
Dari semua panca indera, apa yang dikenali oleh lidah adalah yang paling sulit dijelaskan. Menjelaskan rasa buah matoa dengan kata-kata, tidak akan dapat dipahami orang lain.
Sama halnya apa yang dikenali oleh indera-pikiran tidak dapat dijelaskan pada orang lain, menjelaskan yang dikenali oleh lidah saja sudah sulit, apa lagi menjelaskan apa yang dikenali oleh indera-pikiran.
Satu-satunya cara untuk mengenali apa yang dikenali oleh lidah adalah dengan cara mencicipi sendiri. Begitu mencicipi, maka sudah jelaslah apa yang dimaksud.
Indera-pikiran jauh lebih sulit, karena objek pikiran tidak dapat dikenali oleh indera lainnya. Jika buah matoa dapat dilihat, dapat dipegang, tidak demikian objek pikiran.
Contoh objek pikiran adalah perasaan. Perasaan hanya ada 3 jenis, yaitu senang, tidak senang (kecewa) dan netral. Perasaan muncul ketika proses kognitif terjadi, seperti proses melihat, setelah objek dikenali, akan diikuti oleh perasaan.
Setiap kali proses kognitif terjadi dari keenam indera, muncullah perasaan. Perasaan yang muncul adalah senang, tidak senang (kecewa), netral.
Setelah perasaan muncul barulah muncul emosi lainnya, seperti marah, benci, iri, serakah dan lainnya. Baik perasaan dan emosi yang muncul, kontak, kesadaran indera (vinnana) dan semua aktivitas pikiran/batin lainnya juga merupakan objek dari indera-pikiran.
Satu-satunya cara untuk mengenali semua objek indera-pikiran adalah dengan melihat langsung, yang dikenal sebagai ehipassiko.
Untuk dapat melihat objek indera-pikiran atau aktivitas batin, indera-pikiran harus belajar dengan berlatih meditasi. Meditasi adalah salah satu ajaran pokok yang diajarkan oleh Buddha Gautama, bahkan beliau sendiri yang memberikan instruksi secara langsung pada murid-muridnya, banyak sekali petunjuk-petunjuk meditasi tercatat dalam kitab suci Tripitaka.
Indera-pikiran tidak mampu mengenali objek pikiran, karena pikiran terlalu sibuk. Ketika berlatih meditasi pikiran dilatih untuk mengamati satu objek saja, misalkan keluar masuknya nafas, ketika pikiran sudah terlatih maka pikiran akan diam pada keluar masuknya nafas.
Pada saat pikiran tidak sibuk ini, barulah objek pikiran lain dapat dikenali sedikit demi sedikit. Semakin tidak sibuk semakin banyak yang dikenali.
Sesuai kebiasaan, begitu mengenali objek pikiran tersebut, jika objek menyenangkan biasanya dikejar. Ketika hal ini terjadi pikiran menjadi sibuk kembali. Jika objek tidak menyenangkan, berusaha untuk menolaknya, akibatnya pikiran menjadi sibuk menolak.
Buddha Gautama mengajarkan untuk melihat semua aktivitas itu sebagaimana apa adanya, bahwa semua aktivitas tersebut hanya muncul, sebentar, lalu lenyap, tidak kekal (anicca).
Ketika aktivitas pikiran dikenali oleh indera-pikiran, akan bertahan sejenak lalu lenyap. Muncul lagi lenyap lagi, semua aktivitas pikiran tersebut hanya muncul lenyap, tidak bertahan lama. Jika bertahan lama, sebenarnya aktivitas yang sama yang muncul berturut sehingga sepertinya ada bertahan lama atau selalu ada, padahal tidak demikian.
Melihat muncul lenyapnya semua aktivitas pikiran/batin dan hubungan satu dengan lainnya secara langsung merupakan ehipassiko, yang menimbulkan keyakinan sangat kuat bahwa tidak ada yang kekal.
Keyakinan yang didasarkan pada pengalaman langsung ini disebut saddha, secara perlahan menumbuhkan kebijaksanaan bahwa tidak ada satupun yang pantas dilekati, karena semuanya akan berlalu.
**
Jakarta, 05 September 2022
Penulis: Jayanto Chua, Kompasianer Mettasik
Programmer | Penulis Buku | Praktisi Meditasi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H