Mohon tunggu...
Kompasianer METTASIK
Kompasianer METTASIK Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis itu Asyik, Berbagi Kebahagiaan dengan Cara Unik

Metta, Karuna, Mudita, Upekkha

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Liontin Buddha yang Mengajariku Melepas Kemelekatan

4 September 2022   05:38 Diperbarui: 4 September 2022   06:16 979
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Liontin Buddha yang Mengajariku Melepas Kemelekatan (gambar: orami.co.id, diolah pribadi)

Ini adalah kisah sewaktu saya masih duduk di bangku SMP. Tepatnya di Sekolah Bhinneka Tunggal Ika. Lokasinya di Jakarta Barat.

Setiap tahun, pihak sekolah selalu mengadakan acara retret meditasi khusus bagi siswa sekolah. Acara tersebut merupakan acara opsional yang diadakan oleh guru Agama Buddha kami. Hanya dikhususkan bagi yang bersedia ikut saja.

Dalam acara retret tersebut, kami akan dibawa ke suatu Vihara besar yang berlokasi di Gadog, Puncak, Bogor. Di sana kami menginap selama seminggu penuh saat liburan panjang akhir tahun ajaran.

Kebetulan pada saat saya mengikuti acara retret pada tahun itu, ada sekolah lainnya yang juga bergabung bersama kami. Dalam perjalanan ke Vihara Gadog, pihak sekolah menyewa sebuah bis besar.

Di dalam bis, suasana terasa akrab. Kehadiran murid-murid dari sekolah lain tidak menghalangi keakraban yang terjadi. Suasana semakin meriah dengan hiburan yang dibawakan oleh salah satu guru agama yang pandai bermain gitar. Alhasil perjalanan selama tiga jam tidak terasa.  

Sesampainya di lokasi retret, kami dipersilahkan untuk memilih kamar buat beristirahat.

Lama perjalanan sekitar 3-4 jam. Tetapi tidak begitu terasa karena kita menghabiskan waktu dengan perasaaan gembira. Begitu sampai di sana, kami memilih kamar untuk beristirahat.

Kamar untuk para lelaki dan perempuan diatur secara terpisah. Satu kamar ada lima orang. Ada beberapa ranjang bertingkat, jadi murid-murid bisa tidur bersama dalam satu kamar bersama beberapa orang.

Sore itu kami beristirahat dan makan malam di vihara. Saya ingat ketika itu kami makan sayur asem dan tempe goreng. Terasa sangat nikmat sekali.

Kami harus tidur jam sembilan malam agar tidak ngantuk ketika bangun pada jam empat pagi. Dan memang benar, tepat jam empat pagi lonceng besar sudah berbunyi.

Suaranya benar-benar memekakkan telinga dan membuat para murid kaget terbangun. Setelah bangun, kami harus cepat-cepat ke Dhammasala.

Tak ada waktu lagi untuk cuci muka apalagi untuk mandi. Di dalam Dhammasala, kami bermeditasi bersama selama kurang lebih 45 menit lamanya. Setelah itu kami bisa sikat gigi, mandi, dan sarapan ala kadarnya. Lalu bersiap-siap lagi untuk melanjutkan acara meditasi.

Acara meditasi diselingi dengan ceramah Dhamma. Kurang lebih tiga jam lamanya hingga waktu makan siang. Menu yang disediakan adalah makanan vegetarian. Tidak mengapa, karena dengan demikian kami dapat berlatih untuk menekan keinginan. Toh, fungsi makanan sebenarnya adalah untuk menunjang hidup dan memelihara tubuh, bukan.

Itulah tujuan kami untuk mengikuti acara retret pada hari itu. Untuk mengakhiri perasaan lama dan tidak membangkitkan perasaan baru. Dengan demikian kami akan menjadi sehat dan merasa nyaman.

Setelah makan siang, kami bisa istirahat sebentar. Lalu berkumpul lagi di Dhammasala untuk mendengarkan ceramah Dhamma dan kembali bermeditasi.

Pada sore hari menjelang malam, semua murid kembali berkumpul untuk makan malam. Setelah itu dilanjutkan dengan beristirahat dan tidur di kamar masing-masing.

Demikianlah rutinitas tersebut terus berlangsung selama satu minggu kami di sana. Di hari terakhir, menjelang bubarnya acara, saya membeli sebuah liontin yang bermotif rupang Buddha dan dihiasi oleh latar belakang yang berhologram.

Saya selalu memamerkan liontin tersebut kepada teman-teman dan mereka semua setuju, bahwa liontin tersebut indah. Hal tersebut membuat saya merasa bahagia.

Hingga di sore itu, saya masuk WC dan menyimpan liontin tersebut di dekat WC. Saya letakkan di atas sebuah meja tidak jauh dari sana.

Namun ketika saya selesai menggunakan kamar mandi dan kembali ke meja tersebut, saya tidak menemukan liontin itu lagi. Perasaan tidak senang mulai menghampiri. Bagaimana mungkin bisa hilang dalam waktu sekejap. Hanya dalam hitungan menit dan langsung hilang.

Saya bertanya kepada semua teman, apakah mereka melihat liontin tersebut. Mereka menjawab tidak melihat.

Pikiran buruk pun mulai muncul, saya mulai mencurigai semua yang berada di sana.

"Pasti mereka mengambilnya secara sengaja", pikirku dengan penuh curiga.

"Tapi bagaimana mungkin? Di sini adalah vihara tempat orang-orang bermeditasi, mendengarkan Dhamma, dan melakukan puja bakti", pikiran saya sudah berkecamuk. Semua karena perasaan tidak puas akibat kehilangan liontin yang baru kubeli dengan menggunakan uang jajan yang terakhir.

Semakin saya berpikiran yang buruk-buruk, perasaan saya semakin tidak bahagia. Sesaat kemudian saya pun merenung. Liontin tersebut memang sangat indah dan bernilai religius bagi saya. Tapi apakah layak bagi saya untuk menggenggamnya erat-erat sampai tidak rela kehilangannya.

Tidak masalah apakah diambil orang lain atau apa saja. Toh memang sudah hilang. Semakin dipikirkan, semakin menderita perasaan ini. Lalu saya berpikir bagaimana jika saya relakan saja.

Jika seandainya diambil orang lain, mungkin saja orang itu lebih memerlukannya dibandingkan saya. Sedangkan bagi saya, Buddha Dhamma selalu ada di batin. Jadi untuk apa lagi saya harus menyesali semua itu.

Biarlah yang telah berlalu tidak membuat kita berada di sana. Karena masa lalu telah lewat dan tidak bisa kembali. Saya juga menjadi mengerti bahwa kita akan terpisah oleh apa dan siapa saja yang kita cintai.

Karena dalam Buddha Dhamma, segala sesuatu yang muncul berkondisi dan bergantungan adalah tidak kekal. Apapun yang tidak kekal adalah dukkha. Apapun yang tidak kekal juga bukanlah milikku, bukan aku, dan tanpa diri.

Setelah berkecamuk dan sedih akan kehilangan barang yang saya cintai, saya kembali teringat akan nasehat sang Buddha. Dan akhirnya saya bisa merelakan kehilangan barang tersebut.

Kehilangan barang tersebut masih terasa ringan tetapi bagaimana jika kita kehilangan orang yang kita cintai seperti orang tua, pasangan hidup, atau anak. Inilah tantangan hidup manusia. Semoga kita bisa memahami hidup ini sehingga hidup kita bisa lebih bahagia dan sejahtera.

**

California, 04 September 2022
Penulis: Willi Andy, Kompasianer Mettasik.

Hidup dengan Penuh Cinta Kasih

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun