Mohon tunggu...
Kompasianer METTASIK
Kompasianer METTASIK Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis itu Asyik, Berbagi Kebahagiaan dengan Cara Unik

Metta, Karuna, Mudita, Upekkha

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Adakah Pilihan untuk Hari Tua Nanti?

29 Agustus 2022   07:07 Diperbarui: 29 Agustus 2022   07:08 957
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Adakah Pilihan untuk Hari Tua Nanti? (gambar: sixtyandme.com, diolah pribadi)

Berawal dari menjalankan masa pensiun, seringkali muncul perenungan ditengah kesendirian "siapkah aku hadapi usia tua dalam kesendirian?" 

Banyak mendengarkan, membaca kata bijak yang mengatakan "wajar kita hadapi usia tua, sakit, dan meninggal." Tetapi, kembali lagi kalau aku mau jujur, kadangkala kecemasan muncul tiba-tiba tanpa disadari.

Melihat pengalaman hidup ketiga orang tuaku, Ibuku sendiri, Papa Mama mertuaku. Apa yang mereka jalani di hari tua, membuatku seringkali berpikir akan seperti apakah aku nanti?

Ibuku

Ibuku sangat beruntung kerena adik bungsuku bisa menemani Beliau sampai belasan tahun. Orangtuaku hidup sendiri walaupun dengan bantuan seorang perawat. Tapi, ia tetap butuh pengawasan dari anak-anaknya.

Mereka butuh pengawasan makanan, olahraga, menemani ngobrol, dan menghibur dikala sedih. Hal ini ternyata cukup sulit kalau aku perhatikan di kehidupan nyata.

Banyak orangtua tidak mau tinggal di rumah anak-anaknya, mereka berharap salah satu anaknya bisa tinggal dengan mereka. Demikian pula dengan ibuku. Ia sangat tidak mau tinggal dengan anaknya karena memiliki alasan tersendiri.

Semua anaknya sibuk, melakukan rutinitas mulai dari pagi hingga sore bahkan kadang sampai malam. Kemudian kembali ke rumah dengan sisa tenaga yang masih tertinggal. Lalu makan malam, istirahat, dan tidur.

Hal ini yang membuat Ibuku tidak mau tinggal dengan kami anak-anaknya dan kami pun banyak pertimbangan kalau harus kembali ke rumah orang tua.

Tibalah saatnya saat adik bungsuku harus hidup sendiri dengan keluarganya, inilah momen yang sangat menyedihkan melihat betapa sedih Ibuku ditinggalkan anak bungsunya yang selama ini dengan setia menemani.

Begitu juga adik bungsuku, ia menderita karena dilema. Di satu sisi dia harus menemani keluarga dengan istri dan dua anak yang sudah menginjak remaja. Di sisi lain dia harus merelakan Ibuku yang hidup sendiri hanya ditemani oleh seorang perawat. 

Di sini aku belajar seberapa banyak pun anak yang kita miliki, kita akan kembali hidup sendiri setelah tua nanti. Anak-anak punya kehidupannya masing-masing.

Namun, kembali lagi karma kita akan berperan. Akankah kita akan mengalami usia tua bahagia ditemani oleh anak cucu. Atau kita akan hidup sendiri ditemani oleh seorang perawat yang setia.  

Bersyukur Ibuku bukan orang tua yang banyak menuntut. Kami anak-anak lalu berbagi tugas. Adik bungsuku setiap pagi datang membawa masakan istrinya, menemani Ibuku makan sambil berolah raga ringan dan bersenda gurau.

Saya mendapat giliran seminggu sekali. Pada jam istirahat kantor menemani Ibuku makan siang di pusat perbelanjaaan, sambil berkeliling dengan kursi rodanya.

Saat itu aku sudah merasa puas dan bahagia bisa menemani, melihat ibuku bahagia. Meskipun terkadang aku masih merasa sedih dan menyesal. Mengapa tidak bisa memberikan lebih kepada ibuku. 

Sebagaimana aku memberikan seluruh perhatian, kasih sayang, saat aku merawat suamiku dengan tulus. Tapi, kesadaran kembali datang menghiburku, "hal ini sudah berlalu, fokus pada saat ini, lakukan pelimpahan jasa kepada Almarhum ".

Papa Mertuaku

Berbeda dengan kehidupan Papa mertuaku. Beliau asli kelahiran China, lahir di desa Hua-an, Xiamen. Beliau merantau ke Jakarta bersama-teman, berbisnis dan berkeluarga.

Di usia senjanya Beliau terkena penyakit sehingga harus dirawat di rumah.  Sebelum Papa mertuaku benar-benar harus diam di ranjang, aku seringkali melihat Beliau duduk merenung. Ia terlihat kesepian.  

Sesekali seorang temannya datang berkunjung, papa terlihat sangat bahagia.  Aku berpikir ternyata keberadaan kami, istri, anak menantu tetap berbeda dengan keberadaaan seorang sahabat. 

Dengan sahabat Papa bisa bercanda, ngobrol, bernostalgia. Sangat berbeda dengan kami anak-anaknya. Kami hanya berbicara tentang hal-hal rutin saja. "Sudah diminum obatnya Pa, masih ada yang sakit, malam bisa tidurkah Pa?" Seperti itulah kira-kira. Sungguh pertanyaan yang membosankan bagi papa.

Papa mertua pernah bicara mau pulang ke China. Waktu itu aku sempat berpikir "mengapa mau kembali ke China, kan di Jakarta sudah lama sekali, memangnya masih ada teman disana?" 

Akhirnya aku sadar setelah aku setiap tiga minggu sekali harus menemani suami perawatan ke Guang Zhou. Aku melihat kehidupan orang tua disana sangat bahagia.  

Sore hari suasana taman sudah ramai dipenuhi olah para lansia dan anak-anak. Ada yang mengunakan kursi roda, ada yang hanya berjalan-jalan santai sambil bercengkrama.

Di sisi lain aku melihat kelompok lansia bercengkrama sambil bermain mahyong.  Aku perhatikan, betapa bahagianya mereka. Berkumpul dengan sesama lansia, bahkan di kursi roda pun mereka tetap ceria. 

Aku mengerti mengapa Papa mertua merasa sepi di hari tua. Beliau pasti merindukan momen seperti itu, karena sangat jarang di Jakarta ada perkumpulan para lansia di lapangan terbuka. 

Yang ada hanya anak-anak kecil berlarian di taman. Kalaupun ada satu atau dua lansia yang duduk di kursi roda, ia hanya melamun sendiri, sementara perawatnya yang terlihat senang bercengkrama dengan yang lain.

Diriku

Demikianlah kehidupan masa tua yang ada disekitarku. Apakah aku sudah siap? Apakah aku dapat memilih kehidupan seperti apa yang aku inginkan nanti?

Jujur sampai saat ini aku belum menemukan jawabannya. Apakah ada jawaban dari para sahabat? Fokusku hanya menjalankan kehidupan saat ini, perbanyak berbagi, meditasi, melakukan kegiatan yang menyenangkan, serta menjaga pertemanan yang sudah ada dengan sebaik-baiknya untuk bekal nanti.

Berbahagialah para sahabat yang masih diberikan kesempatan bisa merawat dan menemani Orang Tua. Semoga semua mahluk berbahagia.   

**

Jakarta, 29 Agustus 2022
Penulis: Tjio Jolanda Santoso, Kompasianer Mettasik

Alumni IPB | Pensiunan Perusahaan Swasta | Sekarang Ibu Rumah Tangga

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun