Bahwa saat ini saya sudah bertemu jalan Dhamma dan rutin berlatih meditasi. Saya yakin, dan sangat yakin akan hal itu. Meditasi di Jalan Dhamma telah mengubahku!
Kembali ke acara nonton Drakor...
Sesudah menonton dua episode, saya dan anak-anak memutuskan berhenti dulu. Sudah saatnya makan siang. Di meja makan, kami lalu berdiskusi tentang kisah dalam drama korea tersebut.
Saya pun bertanya kepada anak-anak tentang pendapat mereka terhadap beberapa tokoh antagonis yang ada. Saya sampaikan kepada mereka bahwa saya merasa kasihan dengan si tokoh antagonis, karena "kebodohan-kebodohannya" dia menjadi menderita.
Anak anak saya tertawa dan berkata, "Mama... itu kan cuma drama, ceritanya memang harus begitu, biar seru!"
"Hahaha... ya, mama juga tahu itu cuma drama, kalau tidak ada tokoh antagonis seperti itu pasti ceritanya tidak seru ya, dan tidak ada yang mau nonton, juga ceritanya cepat habis! Hahaha..." ujarku sambil tertawa.
Namun pada kesempatan diskusi kami di meja makan tersebut, saya bisa sedikit banyak berdiskusi tentang ajaran Dhamma dengan anak-anak saya. Bahwa dalam dunia nyata ini, penderitaan seperti yang dialami si tokoh antagonis sebetulnya ada banyak di sekitar kita. Bahkan sebetulnya kita sendiri sering seperti si tokoh antagonis.
Menderita karena "kebodohan" kita sendiri dengan terus menggenggam kemarahan, terus hidup dalam dendam masa lalu, tidak mau melepas. Terus bergumul dalam kebodohan, dendam, dan sakit hati sehingga berpikir baru bisa lega dan bahagia kalau sudah membalas.
Satu kalimat dendam yang sering diucapkan dalam drama Korea tersebut adalah,"Dia harus merasakan apa yang aku rasakan!" ...
Aduh! Mengerikan sekali ya!
Saya memberikan pemahaman kepada anak-anak saya bahwa dendam dan niat membalas seperti itulah sumber api penderitaan kita. Penderitaan kita disebabkan oleh pilihan kita sendiri.