Dalam keseharian, kita sering mendengarkan jika umat Buddha meninggal, maka wajib untuk dikremasi. Kenyataannya tidak demikian. Hal tersebut sudah pernah saya tuliskan dalam artikel sebelumnya yang berjudul "8 Miskonsepsi terhadap Agama Buddha."
Secara singkat, manusia menurut agama Buddha terdiri dari 4 unsur, yakni:
Padat/Tanah, yang terdiri dari tulang, gigi, rambut.
Cair, seperti darah, air seni, nanah.
Api/Panas, seperti nafsu, amarah, emosi, semangat.
Udara, seperti bernafas, masuk keluar udara yang kita hirup dan hembuskan.
Dengan demikian, manusia bebas memilih tempat peristirahatan terakhirnya. Apakah dikebumikan (tanah), dilarung ke lautan (air), dikremasi (api), atau diletakkan di atas bukit atau gunung (udara).
Kendati demikian, umat Buddha juga sangat toleran. Selalu mempertimbangkan pesan-pesan dari mendiang, keinginan keluarga, dan/atau kearifan lokal setempat dalam pemilihan tempat peristirahatan terakhir.
Tempat yang paling umum adalah di Taman Pemakaman Umum (TPU). Kemudian disusul oleh kremasi dan dilarung ke laut.
Tapi, ada juga yang lebih unik, seperti contoh kebiasaan beberapa bhikkhu di Thailand. Organ yang masih berguna seperti mata, ginjal, atau jantung didonorkan kepada manusia. Sementara sisa tubuh lainnya didanakan kepada satwa liar. Tujuannya agar tubuh yang tersisa dapat bermanfaat bagi kehidupan.
Apapun caranya, perlu diketahui bahwa umat Buddha telah diajarkan untuk tidak melekat pada rupa (jasmani). Hal tersebut telah disarankan pada saat seseorang masih hidup.
Mengapa demikian?
Pertama, karena umat Buddha harus sadar bahwa kematian itu adalah hal yang pasti. Bahwa segala sesuatu tidaklah kekal (anicca). Yang kedua, melekat kepada rupa (jasmani) hanya akan menimbulkan kekecewaan.
Tidak dilarang untuk berdandan, merawat tubuh, berpakaian bagus, atau membentuk tubuh di gym. Tapi, manusia tetap harus memiliki kesadaran penuh bahwa kelapukan (penuaan) adalah proses alamiah.