Disiang hari nan terik, di sela-sela tugas kantor untuk menjamu relasi, aku terpanggil ke sebuah toko penjual alat-alat sembayang yang ada di sisi kiri restoran. Setelah mengurus pesanan menu makanan, kutinggalkan para relasiku sejenak agar mereka bisa bebas berdiskusi.
Ketika kakiku memasuki toko itu, terlihat suram tiada berseri. Disertai dengan tampang penjualnya yang ketus, tak bersahabat, seperti tak berniat untuk melayani. Lalu, keisenganku timbul dengan sendirinya, kukitari ruangan dengan tanya sana sini.
Entah karena lelah, kesal, atau capek menghadapiku, si penjaga toko menuju tempat kerjanya dibalik meja etalase yang agak berdebu. Tiba-tiba mataku melihat seuntai tasbih dipojok tumpukan buku-buku. Kembali timbul kejailanku untuk menggoda si pemilik toko berwajah beku.
"Coba dong lihat tasbihnya dan berapa harganya," pintaku.
"Tidak dijual, itu barang bekas," jawabnya ketus sambil cemberut.
"Lihat boleh dong, lagipula kalau barang bekas tidak dijual kenapa ditaruh di lemari etalase? Siapa tahu aku jodohnya," aku ngeyel walau sebenarnya cuma ingin menggodanya.
Akhirmya sang penjaga toko mengeluarkan tasbih yang kuminta. Jelas ia kesal, karena tasbih itu agak dilempar ke atas etalase di hadapanku.
Aku termenung sebentar, bukan karena sikap penjaga toko yang kasar. Tapi ada sesuatu yang menarik pada tasbih itu. Modelnya benar-benar antik, bandulnya berbentuk labu. Di dalamnya terdapat ukiran Ruppang Buddha nan indah.
Untuk sesaat, mataku tak bisa lepas dari tasbih tersebut. Sesaat kemudian, konsentrasiku buyar dengan suara si penjaga toko yang tidak sabaran, "kalau mau, harganya seratus dua puluh lima."
Tawar menawar pun terjadi, tapi si penjaga toko seakan-akan bisa menerawang isi dompetku. Seratus dua puluh lima ribu rupiah kukeluarkan, tak lagi menyisakan seperak pun. Semua uang dari dompetku berpindah tangan ... kosonggg.
Anehnya, tidak ada peyesalan setitik pun. Aku lalu Kembali ke restoran melanjutkan tugasku menjamu relasi kantor.
Setelah beberapa saat berlalu, tasbih tersebut masih dalam genggamanku. Entah sugesti atau bukan, aku merasakan jika ia memang bertuah.
Aku semakin percaya setelah mendapatkan konfirmasi. Beberapa ahli ramal yang kutemui selalu mengatakan jika tasbih tersebut memang membawa hoki.
"Jika kamu bawa berjudi, pasti menang berkali-kali," kira-kira begitu ucapan mereka. Sayangnya saya bukan penjudi, jadi ucapan ahli ramal tersebut tidak pernah kubuktikan.
Tapi, keberuntungan yang kurasakan tidak berasal dari materi. Lebih kepada hal spiritual. Diri ini selalu dihampiri kebahagiaan. Bahkan untuk hal-hal kecil, seperti melihat burung berkicau. Aneh, bukan?
Aku juga merasakan sedikit perubahan emosi. Jadi yang terbiasa meledak-ledak, sekarang sudah lebih sering adem ayem.
Ternyata, aku baru sadar jika tasbih tersebut telah menghipnotisku untuk mengisinya dengan mantra. Mantra kuno dari ribuan tahun yang lalu.
"Sabbe Satta Bhavantu Sukhitata," itulah mantra sakti yang berasal dari zaman sang Buddha.
Ternyata memang sakti, karena tasbih antik yang entah berasal dari mana, kini senantiasa menyerbak wangi cendana. Bentuknya pun berubah, menjadi lebih mengkilap sejak terakhir aku membelinya.
Mungkin juga karena usapan jemari-jemari tanganku yang penuh cinta. Tapi, diriku lebih memercayai jika lantunan doaku-lah yang bertuah. Semoga semua mahluk berbahagia.
Sang tasbih berbahagia, mahluk di sekitarku berbahagia, demikian juga diriku, senantiasa berbahagia.
**
Jakarta, 17 Juli 2022
Penulis: Sumana Devi, Kompasianer Mettasik
"Hidup Cuma Sekali, Harus Dinikmati. Sakit Diobati, Mati Dikremasi."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H