Ada beberapa alasan bagi saya untuk menyukai film dengan genre monster. Yang pertama tentunya ketegangan yang tersaji. Bagaimana manusia bertindak pada saat dihadapkan dengan situasi antara hidup dan mati.
Yang kedua adalah fantasi. Asal muasal monster yang penuh misteri, keberadaan mereka yang mengancam umat manusia, dan akhirnya bagaimana kemanusiaan memenangi pertempurannya.
Kendati demikian, film monster bukan tanpa cela. Ide yang itu-itu saja (meskipun terkadang variatif) membuat para penggemarnya sudah bisa menduga-duga alur yang akan terjadi. Seperti gigitan zombie yang menular atau mahluk luar angkasa yang ingin menguasai bumi.
Tapi, setelah menonton film seri Netflix Sweet Home, saya langsung terpesona. Idenya benar-benar tidak biasa. Sutradara Lee Eung-book telah mampu menjadikan film monster lebih manusiawi, meskipun darah dan kekerasan banyak ditemukan pada setiap episode.
Mengapa demikian? Itu karena Sweet Home adalah cerita monster yang tidak biasa. Alih-alih berasal dari luar angkasa atau virus zombie, monster pada serial tersebut justru berasal dari sisi gelap manusia.
Mereka yang mati belum tentu menjadi monster, sementara yang hidup bisa saja berubah seketika tanpa adanya peringatan dini.
Dengan kata lain, menjadi monster bukan karena faktor eksternal. Penyebabnya berasal dari dalam. Dari hasrat tergelap diri manusia. Nah, di sinilah yang paling menarik. Penonton bisa mengkorelasikan monster dengan sifat manusia.
Seperti seorang ibu yang memiliki kemelekatan yang kuat dengan bayinya. Ia berubah menjadi monster hamil. Adapula seorang lelaki botak yang tidak mau melepaskan rambut palsunya. Ia kemudian berubah menjadi monster berambut lebat dan panjang. Lalu ada seorang anak yang selalu berkeinginan menjadi pahlawan. Alih-alih menjadi monster, ia justru berubah menjadi "super hero."
Sejenak aku terhenyak. Mencoba membayangkan diriku jika berada dalam situasi tersebut. Monster apakah aku akan menjadi setelah aku mati nanti? Saya sudah bisa menduga-duga, tapi biarlah itu menjadi rahasia terdalamku.
Menjadi monster tentu hanyalah khayalan. Dalam beberapa literasi, manusia juga bisa berubah wujud menjadi makhluk halus. Itu setelah mati. Tapi, tidak ada yang bisa menduganya, karena kehidupan setelah kematian adalah hal yang penuh misteri. Â Â
Oleh sebab itu, momen sebelum kematian menjadi hal yang penting. Tentunya surga menjadi harapan. Makanya setiap agama pasti memiliki ritualnya masing-masing. Doa sebelum dan sesudah kematian dilantunkan, berharap agar malaikat surgawi yang datang menjemput.
Pengalaman sebelum meninggal adalah pengalaman spiritual. Siapapun akan penasaran, kemanakah mendiang akan pergi setelah kematian? Surga dan neraka menjadi pilihan, itupun masih meragukan.
Apakah setiap manusia akan bahagia atau menderita pada momen sebelum ajal menjemput? Menarik melanjutkan pembahasan ini dari sisi sains.
Seorang peneliti klinis asal University of Liverpool, pernah merisetnya. Seamus Coyle mengatakan bahwa menjelang kematian, kadar endorfin dan serotonin akan meningkat. Kedua zat kimia ini bertanggung jawab terhadap perasaan bahagia di otak. Fungsinya adalah untuk membantu manusia menekan rasa sakit sebelum kematian.
Sayangnya tidak semua pasien seperti itu. Ada beberapa pasien yang tampak kesakitan sebelum meninggal. Menurut pengamatan ahli, kebanyakan dari mereka adalah yang tidak bisa menerima kenyataan bahwa mereka sekarat.
Seamus Coyle juga adalah seorang ahli perawatan paliatif, atau perawatan pasien yang menderita penyakit kronis. Ia menyatakan bahwa kematian adalah hal yang tidak bisa dicegah. Melawannya adalah hal yang sia-sia. Proses kematian yang damai atau tidak, sangat bergantung kepada sikap nrimo pasien yang akan meninggal.
Saya lalu mengkorelasikannya dengan filsafat Buddhisme, tentang kemanakah kita akan pergi saat meninggal nanti. Bagi umat Buddha, kematian adalah proses transisi dari kehidupan saat ini ke kehidupan berikutnya.
Pengalaman terakhir sebelum kematian disebut dengan cuti-citta (kesadaran ajal). Secara umum proses ini disebut dengan pengelihatan terakhir (last conscious).
Proses ini menjadi sangat penting, karena ia akan menentukan ke alam manakah mendiang akan melanjutkan kehidupannya. Jika baik, maka ia akan pergi ke alam yang baik. Sebaliknya, jika buruk maka alam bawah (alam penderitaan) yang akan menjadi tujuannya.
Lalu faktor apakah yang menentukan Last Conscious?
Menurut ajaran Buddha, last conscious didorong oleh kebiasaan-kebiasaan mendiang selama masih hidup. Dan juga kekuatan perbuatan (karma) yang telah ia kumpulkan. Pada saat karma akan berpindah tempat, di sanalah pembawa karma kelak akan terlahir
Konsep after life yang jamak dikenal adalah surga dan neraka. Tapi, dalam konsep Buddhisme sedikit berbeda. Ada unsur reinkarnasi atau tumimbal lahir. Itupun belum tentu jadi manusia. Ada 31 alam yang bisa menjadi pilihan karma.
Untuk lebih jelasnya sila klik artikel ini,
Pilihan tersebut ditentukan oleh kekuatan batin itu sendiri. Manusia yang sudah terbiasa mencuri, membunuh, menipu, akan membawa kebiasaannya ke alam berikutnya. Ia akan terkondisikan ke alam yang mendukung. Kemungkinannya adalah neraka yang menyiksa, atau alam binatang.
Sebaliknya, mereka yang telah terbiasa melakukan perbuatan baik, akan lebih mungkin dilahirkan di alam yang baik pula. Tidaklah heran jika setiap agama selalu menganjurkan umatnya untuk berbuat baik. Itu adalah pengalaman batin terbaik untuk menghadapi last conscious.
Tapi, sebelum melanjutkan lagi, saya ingin menyatakan disklaimer dulu. After life atau Tumimbal Lahir dalam konsep Buddhisme tidak benar-benar mewakili tulisan ini. Kenyataannya jauh lebih kompleks dari itu. Â
Baca juga: Perbedaan Reinkarnasi dan Tumimbal Lahir Menurut Agama Buddha
Lalu apa yang bisa dilakukan?
Dalam ajaran buddhisme banyak yang bisa dilakukan. Yang pertama tentunya menjaga lima sila utama (Pancasila Buddhis). Singkatnya adalah; Tidak membunuh, tidak mencuri, tidak berbohong, tidak berbuat asusila, dan tidak mengkonsumsi substansi yang memabukkan.
Dengan menjaga lima sila utama ini, manusia diajarkan untuk terbiasa melakukan perbuatan baik yang paling dasar. Hal ini berlaku secara universal, tidak bagi hanya umat buddhis saja.
Yang kedua adalah menyiapkan batin bahwa ajal adalah hal yang pasti. Setiap saat bisa datang menghampiri. Dengan menghadapi kenyataan bahwa perubahan itu pasti, maka diri ini tidak akan melekat pada kehidupan abadi.
Yang ketiga, selalu sadar setiap saat. Menjaga pikiran yang positif dan baik, yakni melihat kebenaran sebagai kebenaran. Cara ini bisa dilakukan melalui pelatihan meditasi secara rutin.
Baca Juga: Apa sih yang Dilatih dalam Meditasi?
Hal lain yang tidak kalah penting adalah beribadah sesuai ajaran agama masing-masing. Mendekatkan diri kepada sang Khalik, akan mengajarkan setiap manusia untuk bersiap menghadapi kehidupan kematian yang lebih baik.
Kembali kepada film seri Netflix, Sweet Home.
Secara umum film tersebut membuatku tersadar bahwa kematian bisa terjadi kapan saja. Bahkan sebelum kematian itu datang menghampiri. Mungkin semua film monster juga menyiratkan pesan yang sama.
Bahwa hal yang paling menakutkan di dunia ini bukanlah setan, hantu, atau sejenisnya. Tapi, ulah manusia itu sendiri. Jadi, bisakah saya membuat kesimpulan bahwa surga dan neraka sebenarnya telah tercipta pada kehidupan ini?
Jika bisa, maka saya mengajak seluruh pembaca untuk bersama-sama menciptakan surga bagi kehidupannya masing-masing. Berbuat baiklah setiap saat, karena memang itu adalah energi surgawi.
Lakukan itu secara terus menerus, tanpa letih, tanpa henti. Persiapkan hari esok, seolah-olah ini adalah hari terakhirmu. Dengan demikian, semoga last conscious tidaklah begitu menakutkan.
Baca Juga: Ini Hari Terakhirmu, Mau Terus Busuk?
**
**
Makassar, 5 Juli 2022
Penulis: Rudy Gunawan, Kompasianer Mettasik
Numerolog Pertama di Indonesia versi Rekor MURI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H