Headline Kompas, Rabu, 8 Juni 2022: "Hilang Nyawa demi Konten," memberitakan aksi berani mati dari sejumlah anak remaja yang nekat menghadang truk di jalan.
Aksi tersebut dilakukan secara berkelompok. Kadang terjadi pada saat pulang sekolah, kadang pula saat pergi menonton pertandingan sepak bola. Tujuannya sederhana, hanya untuk menumpang.
Tapi, bukan rahasia lagi. Siapapun tahu, di zaman medsos seperti ini, konten viral adalah segalanya. Mengunggah aksi nekat dengan harapan ada fulus menyerta.
Dalam Tantangan berani mati itu, satu orang atau lebih dari sekelompok anak-anak muda akan menghadang truk. Mereka rata-rata pelajar setingkat SMP atau SMA.
Mereka akan dianggap berhasil jika truk berhenti tanpa ada yang terluka. Jika sudah demikian, mereka berharap menjadi terkenal dan konten pun viral.
Aksi mereka memang pada akhirnya konten banyak dilihat. Sayangnya, mereka tidak lagi bisa menikmatinya. Sudah terlanjur merenggang nyawa sebelum konten sempat diunggah.
Aksi Berani Mati ini saya akronimkan dengan BM. Sebabnya di zaman saya bersekolah dulu, BM berarti bayar masing-masing. Sesuatu yang tren sebagai aksi kebersamaan dalam kekompakan. Tujuannya mulia, tidak ada di antara teman-teman yang merasa dirugikan.
Tapi akronim BM ini telah bertransformasi. Sayangnya bukan ke arah yang baik. Kekompakan terjadi diukur dari seberapa nekatnya seseorang dalam mempermainkan nyawa.
Sementara di zaman saya dulu, aksi yang paling nekat hanyalah sebatas bonceng motor bertiga. Lagi-lagi saya akronimkan dengan BM (Bonceng Motor). Resiko terbesar paling ditangkap polisi dan dijewer ayah. Nyawa tidak melayang.
Saya kemudian berimajinasi lagi. Bagaimana kalau BH? Eits, tunggu dulu. Saya bukan tua-tua keladi. BH di sini artinya Berani Hidup. Bisa juga Banyak Harapan. Semuanya adalah hal positif yang bisa dikembangkan dalam kehidupan sehari-hari. Baik dalam internal keluarga, maupun eksternal di masyarakat.
Kemajuan teknologi masa kini dengan adanya gawai, kamera cerdas, dan internet, telah mengubah dunia ini. Apa yang seharusnya wajar sudah terasa tidak zaman lagi. Sementara hal-hal yang kurang ajar justru dianggap waras.
Jika generasi kini sudah mulai kehilangan arah, sudah sepatutnya kita mulai bertindak sebagai guru, pemuka agama, petugas keamanan dan pimpinan masyarakat untuk mengambil alih. Sudah sewaktunya kita turut bersatu padu untuk memperbaiki kondisi ini.
Jangan pernah ragu untuk menegur, melapor, bahkan membantu penyebaran konten-konten BM tersebut.
Sebagai orangtua, berilah contoh yang baik. Tunjukkan sikap ksatria, sikap kasih sayang, sikap mengayomi. Semuanya dirangkum dalam sebuah istilah, Berani Hidup (BH).
Generasi muda harus berani menyongsong masa depan yang cemerlang. Anak-anak muda harus memiliki tujuan yang mulia. Penerus bangsa ini harus menjadi Tangguh agar bisa berguna bagi bangsa dan negara.
Tidak berjalan di arah yang salah, yang keliru, yang mau seenaknya sendiri saja. Bukan seperti itu.
Sebagaimana ungkapan berikut ini; "Muda berfoya-foya , Tua Kaya Raya , dan Mati masuk Sorga." Apakah terdengar lucu? Tidak sama sekali.
Gantilah dengan; "Muda Berkarya , Tua Kaya Raya , dan Meninggal Masuk Surga." Tanamkan itu pada benak terdalam dari setiap generasi muda yang kita jumpai.
Semoga semua hidup Berbahagia , Sadhu (STD).
**
Tangerang, 26 Juni 2022
Penulis: Setia Darma untuk Kompasianer Mettasik
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI