Sore ini ingatanku dibawa ke masa kecil. Masa yang indah dan bahagia.
Di beranda rumah yang teduh, terasa sejuk di bawah naungan pohon manga. Dengan benang dan jarum crochet, atau kadang-kadang dua jarum knitting menari di tangan, Nenek duduk santai di kursi goyang. Ditemani Pussy, kucing kesayangannya. Tangannya terbuka lebar dan senyum bahagia menghiasi wajahnya setiap kali aku menghampirinya.
Menjelang remaja, aku pun sudah terampil memainkan benang dan alat rajut. Menciptakan karya-karya cantik, seperti sweater, syal, topi, selimut, dan lainnya.
Kami sering mengisi waktu di sore hari untuk merenda atau merajut. Ada ikatan batin yang kuat di antara kami berdua. Bahkan dalam diam kami bisa saling memahami.
Seringkali beliau bercerita tentang masa muda dan pengalaman hidup yang telah dilalui. Banyak pesan moral dan petuah yang beliau sampaikan lewat cerita-cerita seperti itu.
Sekali waktu aku membuat kesalahan dalam hitungan rajutan. Itu baru aku sadari setelah lewat 18 row (hitungan baris dalam rajutan). Dan ini membuat hasil rajutan jadi melebar, terlihat sangat buruk.
Sementara aku masih kebingungan, Nenek dengan mudah mengenali dimana kesalahan ini berawal. Dengan nada suara jenaka beliau berkata, "bersyukurlah kesalahan ini terjadi hanya dalam merajut, tinggal bongkar lalu mulai lagi".
Waaaah.... aku hampir menangis, "Apa? Bongkar? Hampir satu gulung benang, lalu mulai lagi? Yang benar saja!".
Nenek berkata, "Begitulah, ada konsekuensi yang harus dibayar untuk setiap kelalaian kita"
Akhirnya aku bongkar lagi hasil karyaku dan mulai merajut lagi. Tentunya dengan lebih berhati-hati. Ada perasaan kesal, marah, dan kecewa pada saat membongkar rajutan. Â